Fitnah Kedua, Peristiwa Amul Jama’ah


Fitnah Kedua merupakan sebuah fragmen lanjutan sejarah kekacauan politik dan perang saudara yang melanda umat Islam. Fitnah ini berakar dari Fitnah Pertama yangmemakan korban Khalifah Utsman bin Affan dan puluhan ribu umat Islam.

Jika Fitnah pertama terjadi di masa akhir pemerintahan Khalifah Utsman bin ‘Affan sampa diangkatnya Imam Hasan bin Ali menjadi Khalifah, Fitnah Kedua terjadi di masa awal pemerintahan Khalifah Yazid bin Muawiyah sampai masa kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Pada masa-masa ini kondisi politik umat Islam sangat darurat dan carut marut, umat islam terpecah menjadi beberapa faksi-faksi politik dengan tujuan yang sama yaitu untuk menguasai tampuk kekuasaan.

Mereka saling sikut satu sama lain dalam memperoleh tampuk kekuasaan, bahkan dengan cara yang buruk sekalipun serta jauh dari nilai-nilai agama Islam.

Padahal jika kita lihat tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik-konflik tersebut itu bukanlah orang biasa, melainkan sebagian sahabat Nabi dan sebagian tabi’in, mereka orang-orang yang dipandang mulia dan terhormat, bahkan Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah masaku (meliputi sahabat), lalu orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in)….” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)


Jika kita berkaca pada sabda Nabi tersebut mereka dikatakan sebagai generasi terbaik atau masa terbaik, namun justru sebagian dari mereka dalam praktik politiknya jauh dari nilai-nilai kebaikan dan keislaman. Ini tentunya membuat kita semua terheran heran dan tercengang.

Maka dari itu tujuan dari tulisan ini adalah agar kita dapat mengambil segala hikmah dan ibrahnya serta meningkatkan kewaspadaan kita terhadap Fitnah Politik.

Karena bagaimanapun juga sejarah adalah roda yang terus berputar. Apa yang terjadi di masa lampau bisa terjadi kembali di masa sekarang, hanya saja berbeda latar dan tokohnya.

Dan dalam Fitnah Kedua bagian satu ini saya membagi 3 babak peristiwa secara berurutan dan kronologis yang terjadi pada masa itu yaitu Peristiwa Amul Jama’ah, tragedi Karbala, dan Penyerangan Madinah. Untuk memudahkan kita dalam memahami konflik-konflik yang terjadi.

Peristiwa Amul Jama’ah 

 
Setelah wafatnya Imam Ali bin Abi Thalib yang dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam pada 17 Ramadhan tahun 40 H/ 24 Januari 661 M. Masyarakat Kufah membai’at putra pertamanya, yaitu Imam Hasan bin Ali untuk menjadi Khalifah. Orang pertama yang maju membai’at dirinya adalah Qais bin Sa’ad bin Ubadah. Ia berkata kepadanya, “Ulurkanlah tanganmu, aku akan membai’atmu atas dasar Kitabullah dan Sunnah nabiNya .”

Pada awalnya Imam Hasan bin Ali merasa keberatan memegang Jabatan Khalifah, namun karena dirinya terus didesak akhirnya ia menyanggupinya.

Mendengar kabar bahwa Imam Hasan bin Ali dibai’at menjadi Khalifah, Muawiyah bin Abu Sufyan yang berada di Syam menjadi geram dan tidak senang. Dia yang sejak dulu berambisi ingin menguasai kekuasaan, kini ia mendapati rival politik kembali. Dan tentunya Muawiyah tidak akan membai’at Imam Hasan bin Ali, sebagaimana dulu ia tidak membai’at Imam Ali bin Abi Thalib hingga terjadinya Perang Shiffin.

Pendukung Imam Hasan bin Ali mengetahi bahwa Muawiyah yang dari dulu berambisi menjadi Khalifah, pasti sedang merencanakan sesuatu untuk menggulingkan kekuasaan Imam Hasan bagaimanapun caranya. Maka dari itu Qais bin Sa’ad dan para pendukungnya meminta Imam Hasan bin Ali untuk pergi ke Syam dan memerangi mereka. Imam Hasan sebenarnya adalah orang yang sangat membenci pertikaian dan permusuhan. Namun lagi-lagi dirinya didorong oleh pendukungnya untuk pergi ke Syam. Akhirnya Imam Hasan memenuhi permintaan pendukungnya dan berniat untuk menguji seberapa setianya pendukungnya tersebut. Saat itu Qais bin Sa’ad ditunjuk menjadi pemimpin pasukan dengan membawa 12.000 personil. Qais bin Sa’ad sebelumnya menjabat Gubernur Azerbaijan, namun karena Qais bin Sa’ad ditunjuk sebagai komandan pasukan, jabatannya digantikan oleh Ubaidullah bin Abbas.

Setelah semuanya siap mereka berjalan menuju Syam. Begitupun dengan Muawiyah ketika mendengar kabar bahwa Imam Hasan dan pasukannya sedang menuju Syam, ia juga menyiapkan pasukan yang besar dan berangkat untuk menghadang.

Namun setibanya di wilayah Madain terjadil kekacauan di dalam kubu pasukan Imam Hasan, diantara mereka ada yang berteriak, “Celaka!, Qais bin Sa’ad bin Ubadah telah terbunuh.” Kemudian pasukan Imam Hasan menjadi kocar-kacir dan saling serang satu sama lain. Bahkan mereka pun menyerbu kemah Imam Hasan bin Ali dan merampas barang-barang berharga. Bukan hanya itu merekapun menyerang Imam Hasan bin Ali, hingga membuat pahanya terluka berdarah-darah karena terkena tusukan belati yang beracun.

Imam Hasan bin Ali lalu melarikan diri dari kekacauan itu, ia sangat marah dan kecewa dengan pengkhiantan sebagian pendukungnya tersebut. Kemudian Imam Hasan berhasil berlindung ke dalam Istana Putih Madain dengan keadaan luka yang sangat parah.

Saat itu keadaannya sangat genting dan mencekam, Imam Hasan sedang diburu oleh para pengkhianat untuk diserahkan kepada Muawiyah di Syam. Di Istana Putih Imam Hasan dirawat dan dijaga oleh gubernur Madain yaitu Sa’ad bin Mas’ud Ats￾Tsaqafi hingga keadaan aman.

Karena melihat pasukannya telah terpecah-pecah, Imam Hasan bin Ali segera mengirim surat kepada Muawiyah yang isinya adalah ajakan untuk berdamai. Pada saat itu Muawiyah dan pasukannya sudah tiba di daerah Maskin (sekarang bagian Irak).

Setelah menerima surat ajakan damai dari Imam Hasan bin Ali, Muawiyah segera mengutus orang-orang kepercayaannya yaitu Abdullah bin Amir dan Abdurrahman bin Samurah untuk menemui Imam Hasan.

Dalam upaya perdamaian, Imam Hasan mengajukan beberapa syarat bahwa ia besedia menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah dengan ketentuan sebagai berikut:

  • Muawiyah menyerahkan harta Baitul Mal kepadanya untuk melunasi utang-utangnya kepada pihak lain.
  • Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap Imam Ali bin Abi
    Thalib beserta keluarganya.
  • Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan sekitarnya kepada dirinya setiap tahun.
  • Muawiyah tidak boleh menarik sesuatu pun dari penduduk Hijaz dan Irak. Sebab, hal itu telah menjadi kebijakan Imam Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
  • Setelah Muawiyah berkuasa, maka masalah kepemimpian (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.

Itulah beberapa persyaratan yang diajukan Imam Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Ketika pesan itu disampaikan kepada Muawiyah oleh utusannya.

Muawiyah menyambutnya dengan gembira, ia dengan senang hati menerima dan menyetujui persyaratan itu semua. Usaha Muawiyah selama ini telah mencapai puncaknya, keinginan dia menjadi seorang Khalifah kini hanya tinggal di depan mata.

Akhirnya, pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 41 H/661 M, kesepakatan damai antara Muawiyah bin Abu Sufyan dan Imam Hasan bin Ali terjadi. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan peristiwa Amul Jama’ah (Tahun Persatuan), dengan ditandai penyerahan tampuk kekuasaan (Khalifah) kepada Muawiyah di daerah Maskin.

Tercatat Imam Hasan memimpin kekuasaan dengan waktu singkat sekitar 6 bulan. Maka nenarlah sesuai sabda Nabi bahwa Imam Hasan suatu saat nanti akan mendamaikan dua kubu umat Islam, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid (pemimpin), kelak Allah SWT akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin melalui dirinya.” (HR. Al-Bukhari)

Setelah kekuasaan secara resmi beralih kepada dirinya, Muawiyah bin Abu Sufyan kemudian pergi menuju Kufah yaitu kota yang masyarakatnya sejak dulu kebanyakan tidak suka padanya, lalu disana ia berkhutbah dihadapan masyarakat dan berusaha mendapatkan hati mereka. Setelah keadaan semuanya kondusif, Muawiyah bin Abu Sufyan kembali menuju Syam dan mengalihkan ibu kota kekhalifahan dari Kufah ke Damaskus (Syam).

Sementara Imam Hasan bin Ali bersama adiknya yakni Imam Husein bin Ali dan juga seluruh keluarganya memutuskan untuk meninggalkan tanah Irak menuju Madinah, Imam Husein bin Ali sebetulnya sangat keberatan atas keputusan kakaknya yang mengalihkan kekuasaannya kepada Muawiyah. Lalu Imam Hasan mencoba menenangkan adiknya bahwa tujuan dari semua itu adalah untuk menjauhi pertikaian dan perpecahan diantara umat Islam.

Ketika dalam perjalanan, mereka melewati banyak pendukung Imam Hasan yang sedang mencelanya, mereka kecewa berat atas keputusan Imam Hasan tersebut. Namun imam Hasan tetap pada pendiriannya dan tidak merasa menyesal sedikit pun, justru ia merasa senang. Karena beliau menganggap keputusannya itu sudah benar, dan sekali￾sekali Imam Hasan berkata kepada mereka, “Saya bukanlah orang yang menghinakan kaum Mukminin, namun saya tidak ingin kalian terbunuh hanya karena berebut kekuasaan.”

Pada masa kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan, keadaan politik kembali stabil, kondusif dan terkendali. Jarang adanya pergolakan-pergolakan kecuali dari sebagian kecil orang-orang Khawarij. Pada masa itu juga untuk pertama kalinya umat Islam berhasil membentuk angkatan laut yang hebat, sehingga dapat menaklukan wilayah Cyprus (bagian dari kekuasaan Byzantium). Saat itu perluasan wilayah dimulai kembali setelah beberapa tahun terhenti akibat konflik-konflik internal.

Kemudian beberapa tahun setelah Peristiwa Amul Jama’ah tepatnya pada 49 H/669 M, Imam Hasan bin Ali wafat. Ia dibunuh dengan diracun pada minumannya, hingga membuat isi perutnya hancur dan muntah darah. Imam Husein sangat terpukul karena kepergian kakaknya, sebetulnya ia sempat menanyakan kepada Imam Hasan siapa pelaku yang menaruh racun kedalam minumannya tersebut.

Namun Imam Hasan tidak ingin memberi tahu adiknya, ia paham sekali bahwa adiknya itu mempunyai karakter yang keras ditakutkan nanti terjadi konflik besar.

Sebenarnya yang meracuni Imam Hasan bin Ali adalah istrinya sendiri yakni Ja’dah binti Al-Asy’ats bin Qais. Ia disuruh oleh Yazid bin Muawiyah dengan iming-iming bahwa Yazid bin Muawiyah akan menikahi dirinya dan memberikannya harta. Tapi ketika ia menagih janji tersebut, justru Yazid bin Muawiyah berkata, “Saya tidak rela menikah denganmu!.” Artinya Ja’dah binti Al-Asy’ats telah ditipu oleh Yazid. Entahapa motif dibalik semua ini, yang pasti kedudukan Imam Hasan saat itu masih melekatdi hati umat Islam.

Di hari itu Abu Hurairah berdiri di Masjid dan berteriak dengan keras, “Wahai sekalian manusia pada hari ini telah wafat kekasih Rasulullah Saw, tangisilah kepergiannya.” Kemudian pecahlah tangisan diseluruh penjuru Madinah, semua masyarakat berkumpul dari laki-laki, wanita, tua dan muda untuk mengantarkan jenazah Imam Hasan.

Pada saat itu sampai-sampai keadaan jalanan Madinah menuju pemakaman sangat sesak dipenuhi para pengantar jenazah Imam Hasan. Pada awalnya Imam Hasan bin Ali akan dikebumikan disamping makam Rasulullah Saw, hal ini telah direstui oleh Ummul Mukminin Aisyah. Namun Marwan dan Bani Umayyah lainnya tidak suka, mereka melarang Imam Hasan dikebumikan disamping kakeknya. Bahkan mereka berkata, “Kami tidak akan membiarkan dia dikuburkan bersama Rasulullah, sementara Utsman dikuburkan di Baqi.” Imam Husein yang melihat ini terpancing amarah ia mengeluarkan pedangnya. Begitupun Bani Umayyah mereka mengeluarkan pedang-pedangnya.

Karena khawatir akan terjadi keributan yang besar, beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar menasihati Imam Husein untuk bersabar dan mengalah. Akhirnya Imam Husein memilih untuk mengalah lalu proses pemakaman Imam Hasan dipindahkan ke Pemakaman Baqi’dan dikuburkandisana, tepat disamping makam ibunya Sayyidah Fatimah Az-Zahra. Imam Hasan wafat pada usianya yang ke-74 tahun.

Sementara itu jauh di bumi Syam, Muawiyah bin Abu Sufyan sedang memikirkan bagaimana caranya tampuk kekhalifahan ini terus berada dalam genggaman keluarganya (Bani Umayyah). Karena bagaimanapun dirinya akan terus dimakan usia, hingga ia merasa perlu untuk menyiapkan pengganti setelahnya.

Dan kandidat yang dipilih sebagai pengganti setelahnya adalah putranya sendiri yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah sangat paham bahwa pemilihan Yazid sebagai putra mahkota itu sangat riskan akan penolakan. Tentunya karena hal ini tidak pernah dilakukan para khalifah-khalifah sebelumnya. Selain itu masih banyak tokoh-tokoh yang lebih pantasmenyandang Khalifah ketimbang putranya Yazid, seperti Abdullah bin Abbbas,Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar, Imam Huseinbin Ali, mereka tentunya lebih kompeten dari segi keilmuan dan pemahaman agama.

Maka dari itu, Muawiyah bin Abu Sufyan berusaha sedini mungkin meraup suara umat Islam untuk membai’at Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota. Pertama Muawiyah melakukan kampanye di Syam untuk mengangkat putranya itu, orang-orang Syam pun membai’atnya.

Dengan demikian Muawiyah tercatat sebagai orang pertama yang mengangkat anaknya sebagai putra mahkota dan orang pertama yang mewasiatkan pengganti kekhalifahan saat kondisinya masih sehat dan bugar.

Kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan menulis surat kepada Gubernur Madinah Marwan bin Hakam, untuk mengambil bai’at dari penduduk Madinah. Ketika datang surat dari Muawiyah tersebut Marwan bin Hakam sebenarnya tidak suka.

Karena sebenarnya ia juga sangat berambisi menguasai tampuk kekhalifahan. Namun dengan terpaksa ia harus menjalankan perintah Muawiyah.

Setelah itu Marwan bin Hakam berpidato di depan orang-orang banyak dengan berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukimin (Muawiyah), memandang perlu untuk mengangkat putranya sebagai khalifah atas kalian setelahnya. Dia bermaksud untukmenerapkan sunnah Abu Bakar dan Umar.” Abdurrahman bin Abu Bakar yang mendengar itu langsung berdiri dan berkata, “Itu bukan sunnah Abu Bakar dan Umar, ini adalah sunnah kaisar. Karena Abu Bakar dan Umar tidak pernah mewariskan kekhalifahan kepada anak-anaknya, bahkan tidak pula kepada salah seorang keluarganya.”

Ucapan dari Abdurrahman bin Abu Bakar itu tentu sangat menampar wajah Marwan bin Hakam. Dalam kampanye pertamanya Marwan bin Hakam bisa dikatakan gagal dalam menggalang bai’at. Muawiyah bin Abu Sufyan yang mendengar kegagalan Marwan, ia menganggap bahwa Marwan bin Hakam tidak sungguh-sungguh dalam menjalankan perintahnya. Hingga akhirnya Marwan bin Hakam dicopot dari jabatan Gunernur Madinah dan digantikan oleh Said bin Ash.

Seperti apa yang sudah dilakukan sebelumnya, Muawiyah memerintahkan Said bin Ash untuk mengirim surat-surat yang ditujukkan kepada Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, dan Husain bin Ali. Lalu meminta jawaban-jawaban dari mereka. Namun semuanya tetap enggan untuk membai’at Yazid, karena hal ini benar-benar pencederaan politik islam. Muawiyah lagi-lagi gagal dalam membujuk para tokoh besar.

Hal ini tentu membuat Muawiyah benar-benar gundah, tanpa pikir panjang ia memutuskan untuk menemui mereka secara langsung. Pada tahun 51 H/671 M, Muawiyah pergi menuju Makkah dengan membawa sejumlah pasukan dan harta. Sesampainya di Makkah Muawiyah mendatangi tokoh-tokoh tersebut dan berkata kepadanya, “Kalian sudah mengetahui perjalanan hidupku dan hubungan kekerabatanku dengan kalian. Ini adalah Yazid putraku, saudara dan keponakan kalian.

Aku ingin kalian membai’at Yazid sebagai Khalifah. Setelah itu kalian dapat mengambil dan membagi-bagikan harta ini.” Mendengar itu, Abdullah bin Zubair menjawab, “Cara yang lebih baik adalah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, karena beliau tidak menunjuk siapapunpenggantinya, atau seperti Abu Bakar karena beliau memilih seseorang yang bukan dari keluarganya, atau juga seperti Umar karena beliau memilih 6 orang sebagai calon penggantinya dan tidak ada seorang pun dari mereka yang merupakan anak atau kaumnya.”

Saat itu Muawiyah merasa tersinggung, ia sangat marah lalu berkata, “Apakah kamu memiliki pendapat lain?” Abdullah bin Zubair menjawab, “Tidak.” Kemudian Muawiyah bertanya kepada tokoh lainnya, “Bagaimana dengan kalian?” Mereka pun menjawab dengan jawaban yang sama dengan Abdullah bin Zubair. Muawiyah sudah kehilangan banyak cara, sehingga ia berkata dengan mengancam, “Aku bersumpah dengan nama Allah, jika ada salah seorang diantara kalian yang membantah perkataanku ini, maka pedangku ini akan memenggal kepalanya sebelum ia mengucapkan kalimat lain.” Terlihat karakter dan sifat Muawiyah bin Abu Sufyan disini sangatlah ambisius dan egois, ia menghalalkan segala cara agar cita-citanya mengangkat Yazid sebagai putramahkota tercapai. Bukan hanya itu, Muawiyah kemudian memerintahkan pasukannyauntuk menggiring paksa tokoh-tokoh besar itu, menuju Masjid. Setiap orang harusdikawal oleh dua pasukan. Ia juga berpesan kepada pasukannya itu, “Jika ada diantara mereka yang membantah perkataanku. Maka penggallah kepalanya dengan pedang!.”

Ketika semuanya tiba di Masjid, Muawiyah bin Abu Sufyan langsung berdiri di mimbar dan berkhutbah dihadapan masyarakat, “Mereka ini adalah para pemimpin kaum muslimin yang selalu mengambil keputusan dengan cara musyawarah. Mereka telah sepakat untuk membai’at Yazid putraku sebagai pengganti setelahku, maka bai’atlah Yazid dengan menyebut nama Allah.” Maka umat Islam pun bersama-sama membai’at Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota. Seperti inilah proses pembai’atan Yazid di Makkah, dilakukan dengan cara yang kotor dan jauh dari nilai￾nilai Islam.

Muawiyah sendiri sangat menyadari bahwa pembai’atan semacam ini sebenarnya tidak diperbolehkan dan riskan mendapatkan pembatalan suatu saat. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia berkata kepada Yazid putranya, bahwa suatu saat nanti ketika ia menjadi Khalifah harus meminta pembaruan bai’at kepada tokoh-tokoh tersebut danmewaspadai secara khusus tiga orang dari mereka yaitu Imam Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Umar. Karena ketiga tokoh itu paling besar pengaruhnya di kalangan umat Islam, terutama Imam Husein bin Ali.

Penulis : Mochamad Firdaus

Lebih baru Lebih lama