CINGCOWONG : UPACARARITUAL MEMINTA HUJAN DI DESA LURAGUNG LANDEUH KECAMATAN LURAGUNG KABUPATEN KUNINGAN


 

Desa Luragung merupakan desa yang memiliki sejarah bahwa disana adalah tempat beristirahatnya istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Cina (Putri Anyon Tien). Masyarakat Luragung sebagian besar bermata pencaharian bertani, masyarakat Luragung Landeuh (bawah) memiliki rasa kegotongroyongan, kebersamaan, saling membantu dalam kehidupan persoalan mereka. Mayoritas penduduk luragung beragama Islam, namun disamping itu masyarakat disana percaya terhadap hal-hal yang bersifat mistis atau benda keramat yang dianggap mempunya kekuatan magis. Maka, bukan hal yang asing jika masyaralat disana melakukan praktek upacara atau ritual dengan kepercayaan lamanya yaitu seperti kepada roh-roh halus para leluhur. Salah satu upacara tradisi yang mempunyai keunikan tersendiri yaitu cingcowong yang merupakan bagian dari ciri khas dari suatu daerah luragung, dan sampai kini masih bertahan.




Boneka Cingcowong ( Bag. Depan)
(Foto: Koleksi Pribadi, 2005)

Cingcowong adalah upacara ritual untuk meminta hujan. Cing atau Cik dalam bahasa sunda artinya coba. Dimana artinya bahwa menunjukan kata perintah untuk bertindak. Sedangkan Cowong atau Ngomong Bedas  artinya bicara keras atau teriak keras. Menunjukan kepada masyarakat untuk turut berteriak keras, meneriakan kata-kata hujan dengan ramai. Cingcowong sendiri mempunyai bentuk seperti boneka, yang menyerupai orang-orangan dengan rupa perempuan berwajah cantik berukuran 20cm, tingginya kira-kira 1M. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan cingcowong yaitu pertama, Suwung(canting) atau gayung yang terbuat dari tempurung kelapa yang dipotong kira-kira ¼ bagian sehingga menjadi wadah yang bisa dipergunakan untuk menciduk air, sedangkan pegangannya terbuat dari kayu yaang dihaluskan. Lalu untuk wajah cingcowong sendiri yaitu belakang siwur yang dirias menyerupai wajah perempuan cantik dan untuk Tangan Cingcowong terbuat dari bilahan bambu berukuran panjang 45 cm. Kemudian bahan selanjutnya yaitu Buwu yaitu alat penangkap ikan lebarnya 20 cm dan tingginya kira-kira 60 cm, terbuat dari anyaman bambu, digunakan untuk badan Cingcowong dan alat ini masih berhubungan dengan air.



>
Boneka Cingcowong ( Bag. Depan)
(Foto: Koleksi Pribadi, 2005)

Adapun untuk cara pembuatannya yaitu pertama kali membuat adalah merias siwur (bagian belakang) dengan rias wajah perempuan cantik. Lalu dibuatkan tangan dengan menggunakan bilahan bambu diikatkan pada buwu, kemudian diberi baju kebaya warnanya apa saja tidak ada ketentuan. Namun, dalam pemilihan Siwur dan Buwu adalah Punduh Nawita yaitu seorang punduh atau (Shaman) yang dipercaya menjadi pemimpin upacara Cingcowong di desa Luragung Landeuh, kecamatan Luargung Kabupaten Kuningan.

Untuk pelaksanaan upacara cingcowong tersebut yaitu dilaksanakan pada har jumat kira-kira pukul 16.00 WIB. Memilih hari Jum’at karena menurut masyarakat setempat, jika turun hujan pada hari jum’at merupakan hari baik untuk melakukan aktivitas ibadah atau religius lain. Perlu diketahui, bahwa sebelum pelaksanaan upacara tersebut Nawita selaku Punduh cingcowong membersihkan diri dengan puasa selama satu hari agar tujuan dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Pada jum’at pagi ibu Nawita meminta masyarakat untuk mengumpulkan bunga samboja sebagai hiasan untuk boneka Cingcowong, kemudian diletakkan dileher sebanyak 15 tangkai, dibagian dada 20 tangkai, dan dibagian perut 25 tangkai. Selain itu, warga juga menyiapkan sesajen yaitu diantaranya ada kopi, gula merah, telor asin, bunga, gula batu, air putih, congcot, kemenyan putih ¼ kg, baskom, sisir, dan cermin. Beberapa perlengkapan upacara yang penting lainnya yaitu, tangga bambu (Taraje), satu buah tikar dari pandan sebagai alas tangga dan tempat duduk.

Langkah awal yaitu, pertama, punduh menyimpan cingcowong di comberan disertai dengan ember berukuran 30 cm yang sudah diisi dengan air. Punduh (Pemimpin Upacara) kemudian berdo’a sambil membakar kemenyan dan memanggil jurig comberan dan jurig jara sambil membaca mantra. Kemudian, menggelar tikar yang sudah disiapkan dan menyimpan tangga diatas tikar, diiringi dengan penyimpanan alat pengiring yaitu buyung terbuat dari tanah liat berukuran lebar 10 cm dan tinggi 30 cm dan ceneng. Kemudian untuk memberi tanda jika uoacara cingcowong itu akan segera dimulai yaitu dengan menabuh misalnya hihid (kipas yang terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk persegi) untuk buyung dan lidi untuk membunyikan ceneng. Selanjutnya, boneka cingcowong diambil dari comberan sambil digendong oleh punduh, mereka bernyanyi diiringi dengan tabuhan ceneng dan buyung. Dengan berjalan pelan menuju tempat acara upacara tersebut, jika sudah sampai di tempat upacara maka nyanyian pun berhenti. Punduh langsung melangkahi anak tangga sebanyak lima buah sebanyak dua kali. Kemudian cingcowong dietakkan di tengah-tengah tangga memegang ujung bawah cingcowong, dibawah cingcowong diletakkan parukuyan dimana kemenyan dibakar dan punduh membaca mantra-mantra namun seperti nyanyian.





Paruyukuyan
(foto: Koleksi Pribadi, 2005)

Adapun mantra nyanyian yang digunakan pada saat upacara cingcowong sebagai berikut :

cingcowong-cingcowong

bilguna bil lembayung

salala lala lenggut

lenggutna angge dani

aya panganten anyar-aya panganten

anyar

lili-lili pring

denok simpring ngalilirong

mas borojo gedog-mas borojo gedog

lilirli guling-gulingna sukma katon

gelang-gelang layoni-layoni putra

ma ukum

ma ukum mengandung dewa

bidadari lagi teka

jak rujak ranti ingcowong

kami jungjang kami loko

pajulo-julo tembang mandaliko

boneka cingcowong bergerak-gerak sendiri pertanda bahwa boneka tersebut telah dimasuki oleh roh. Cingcowong pun mengamuk sambil mengejar-ngejar penonton ke empat penjuru arah mata angin, para penonton berhamburan lari smabil berebut air yang ada di ember yang telah disediakan. Kemudian air tersebut dihambur-hamburkan keatas sambil berteriak Hujan-hujan berkali-kali, dan peristiwa ini di laukan sebanyak tiga kali kemudian boneka cingcowong disimpan kembali di tempat semula yaitu comberan. Bersamaan dengan itu parukuyan disimpan ditempat semula sembari punduh membakar kemenyan dan membaca mantra, sesajen dan kelengkapnnya di buang ke comeberan, lalu selesailah upacara cingcowong.

Masyarakat Luragung Landeuh yang dominan bermata pencaharian bertani tentu tidak bisa jauh dengan air, maka dari itu ketika musim kemarau tiba setahaun sekali mereka melaksanakan Upacara yang dimana upacara tersebut diperuntukkan untuk meminta agar turun hujan. Upacara tersebut dikenal dengan Upacara Cingcowong, dimana masyarakat disana masih mempercayai hal tersebut. Upacara ini dipimpin oleh seorang Punduh, dan dilaksanakan pada hari jum’at. Boneka cingcowong ini dirias dengan wajah yang cantik dan dianggap sebagai perwujudan bidadari, ciri musik dari ceneng dan buyung ini merupakan ciri khas tersendiri bagi aktifitas ritual masyarakat Luragung Landeuh. Dalam penyelenggaraan upacara Cingcowong ini sebagai bentuk representasi simbol budaya masyarakat petani, yang kini telah menjadi sebuah kemasan seni pertunjukan khas kabupaten Kuningan.

Penulis : Khalisa Nada Kelas SKI 2 A

Lebih baru Lebih lama