Tragedi Karbala Part 2

 


Sejak wafatnya Muawiyah penduduk Kufah  merasa sangat lega. Mereka menganggap ini sebagai momentum untuk merebut kembali tampuk kekuasaan Khalifah dari orang-orang Bani Umayyah. Sehingga masyarakat Kufah sangat mengharapkan kedatangan Imam Husein bin Ali untuk bersama-sama melakukan perlawanan kepada Yazid bin Muawiyah demi menegakkan keadilan dan  kebenaran.


       Imam Husen melihat situasi ini awalnya merasa ragu apakah mereka benar-benar mendukung dirinya. Kemudian beliau mengutus sepupunya sendiri Muslim bin Aqil bin Abu Thalib untuk mengamati langsung kondisi yang sebenarnya di Kufah. Imam Husein juga menulis surat kepada tokoh-tokoh Kufah, isinya sebagai berikut, “Amma Ba’du. Aku telah menerima surat-surat kalian dan memahami keinginan kalian agar aku datang kesana. Bersamaan ini, aku telah mengutus sepupuku yang bernama Muslim bin Aqil untuk menampung pendapat kalian. Jika ia mengabarkan seperti apa yang dikabarkan bahwa masyarakat telah sepakat untuk mendukungku, maka insya Allah aku akan datang ke tempat kalian. Demi Allah, seorang pemimpin haruslah berpegang teguh kepada kitab Allah, bertindak adil, dan membela kebenaran. Wassalam.”


      Ketika sampai di Kufah, Muslim bin Aqil mengabarkan Imam Husein bahwa benar penduduk Kufah sangat mendukung dirinya. Telah terkumpul sekitar 12 ribu orang yang siap mendukung dan membai’at Imam Husein bin Ali. Mendengar, itu Imam Husein berpendapat bahwa dirinya harus secepatnya menuju Kufah sebelum suara mereka terpecah karena lamanya menunggu kedatangannya.


     Terdengar kabar bahwa Imam Husein akan pergi ke Kufah. Para sahabat dan tokoh besar berdatangan menemuinya. Mereka mencoba membujuk agar Imam Husein mengurungkan niatannya itu. Abdullah bin Abbas  berkata padanya, “Jangan lakukan itu, saya kira kamu akan dibunuh ditengah-tengah keluarganya sebagaimana Utsman dibunuh. Jabir bin Abdullah, Abu Sa’id dan Waqid Al-Laitsi juga berusaha mencegahnya untuk pergi.


      Namun rupanya tekad Imam Husein sudah bulat bahwa dirinya secepatnya akan pergi menuju Kufah. Abdullah bin Umar terus membujuknya dan berkata, “Janganlah engkau keluar menuju mereka, karena sesungguhnya Allah memberikan pilihan kepada Rasulullah Saw antara dunia dan akhirat, dan Rasulullah memilih akhirat. Sedangkan engkau adalah cucunya, maka engkau tidak akan mendapatkan dunia.” Lalu Abdullah bin Umar menangis dengan memeluk Imam Husein.


      Berbeda dengan yang lainnya, Abdullah bin Zubair justru mendukung Imam Husein, ia berpendapat agar secepatnya pergi menuju Kufah. Imam Husein memang sudah kekeh bahwa dirinya akan pergi menuju Kufah. Abdullah bin Abbas berkata kepada Imam Husein, “Kau membuat senang Abdullah bin Zubair.” Ia menangis tersedu-sedu. Lalu Abdullah bin Abbas memandang Abdullah bin Zubair dan berkata, “Telah terwujud apa yang kau senangi. Al-Husein kini telah meninggalkanmu dan meninggalkan Hijaz.”


      Imam Husein bin Ali pergi menuju Kufah pada 8 Dzulhijah 60 H/680 M. Ia pergi bersama keluarganya, kerabatnya  dan pasukannya. Imam Husein tidak lebih dulu  menunggu datangnya Hari Idul Adha dikarenakan beliau ingin segera secepatnya sampai ke Kufah. Saat itu Muslim bin Aqil dan puluhan ribu masyarakat Kufah sedang berharap-berharap menunggu kedatangannya.


       Sementara itu di istana Damaskus, Yazid bin Muawiyah mendapat laporan tentang perjalanan Imam Husein dan rencana masyarakat Kufah yang membelot pada dirinya. Saat itu Sarjun bin Mansur Ar-Rumi Penasihat Yazid yang beragama Kristen mengusulkan kepadanya agar Gubernur Kufah Nu’man bin Basyir dipecat. Karena dinilai tidak tegas kepada orang-orang pembelot yang dipimpin Muslim bin Aqil. Yazid menerima saran tersebut, lalu ia memerintahkan Gubernur Bashrah Ubaidillah bin Ziyad untuk menggantikan posisi Nu’man bin Basyir.


      Secepatnya Ubaidillah bin Ziyad bergegas menuju Kufah agar ia lebih dulu tiba sebelum kedatangan Imam Husein. Sesampainya di Kufah, hal yang pertama Ubaidillah bin Ziyad lakukan adalah mengumpulkan tokoh-tokoh Kufah, lalu memerintahkan mencatat dan melaporkan orang-orang asing yang datang ke Kufah. Tujuannya adalah agar segera menangkap Muslim bin Aqil. Saat itu keadaan sangat tegang para tokoh Kufah seperti Hani bin Urwah, Sulaiman bin Shurad, dan Mukhtar At-Tsaqafi segera menyembunyikan Muslim bin Aqil di tempat yang aman.


      Ketika melakukan pertemuan dengan para tokoh Kufah, Ubaidilllah bin Ziyad mendapat laporan mengenai tokoh-tokoh yang tidak ikut pertemuan. Salah satunya adalah Hani bin Urwah, ia mangkir dengan alasan sedang sakit. Lalu Ubaidillah bin Ziyad berniat untuk mengunjungi dan menjenguk Hani bin Urwah di kediamannya. Karena Hani bin Urwah adalah salah satu sahabat lamanya. Dan ia tidak tahu bahwa sahabatnya itu bagian dari pembelot dan orang yang melindungi Muslim bin Aqil.


       Di Kufah Ubaidillah bin Ziyad terus berupaya untuk menangkap Muslim bin Aqil. Namun itu tidaklah mudah melihat pengikut Muslim bin Aqil berjumlah banyak. Bahkan, Ubaidillah sampai lari terbirit-birit setelah keluar dari Masjid karena dikejar-kejar Muslim bin Aqil dan pendukungnya. Kemudian Ubaidillah bin Ziyad masuk ke dalam Istana dan mengunci rapat-rapat. Di luar Istana Muslim bin Aqil beserta 4 ribu pendukungnya meneriakkan, “Ya Manshur... Ya Manshur....” Sedangkan dalam Istana, Ubaidillah hanya ditemani sekitar 30 tentara dan 20 orang penduduk Kufah yang mendukungnya.


      Dan bukan Ubaidillah bin Ziyad namanya jika tidak cerdik dan licik, ia juga dikenal sebagai orang yang cerdas, tegas dan kejam. Disaat keadaan genting seperti itu dia tidak kehilangan akalnya. Ia segera memerintahkan pendukungnya yang berada di Istana untuk mengancam orang-orang Kufah yang mendukung Muslim bin Aqil dan memberikan janji-janji manis berupa harta jika mereka taat kepadanya.


      Tidak sampai disitu saja, pendukung Ubaidillah bin Ziyad menemui dan membujuk kaum wanita agar menyuruh suami dan anak-anaknya untuk meninggalkan Muslim bin Aqil dan berpihak kepada Ubaidillah, dengan jaminan keselamatan dan diberi harta. Mereka terus berusaha dengan cara apapun demi memalingkan penduduk Kufah dari pengaruh Muslim bin Aqil.


       Benar saja berkat kerja keras mereka, penduduk Kufah berhasil dihasut. Ketika matahari telah terbenam pasukan Muslim bin Aqil berkurang menjadi 500 orang. Padahal sebelumnya berjumlah 4000 orang pasukan. Ketika waktu maghrib tiba jumlahnya semakin sedikit menjadi 30 orang saja. Hingga pada malam hari, Muslim bin Aqil hanya tinggal seorang diri, orang-orang Kufah satu persatu meninggalkannya. Kini penduduk Kufah telah dibelenggu syahwat duniawi, mereka telah berkhianat.


       Kondisi sudah kondusif tidak ada lagi suara-suara gaduh di luar Istana. Saat itu Ubaidillah menengok ke luar. Setelah yakin bahwa keadaan telah aman, Ubaidillah keluar dan mengajak penduduk Kufah untuk berkumpul di Masjid. Lalu Ubaidillah berkata, “Barang siapa yang menemukan Muslim bin Aqil, maka ia akan terbebas dari semua kewajiban.” Ubaidillah juga menangkap dan membunuh para tokoh Kufah yang dianggap sebagai pendukung utama Muslim bin Aqil seperti Hani bin Urwah, Syarik bin Amr, dan lain-lain. Dan juga memenjarakan Mukhtar bin Abu Ubaid Ats-Tsaqafi.


      Sementara itu Muslim bin Aqil terluntang-lantung seorang diri di lorong-lorong Kufah. Ia sangat kecewa dan marah kepada penduduk Kufah. Setelah beberapa waktu, Muslim bin Aqil kelelahan lalu berhenti di pinggiran jalan. Disitu ia bertemu dengan seorang perempuan tua yang bernama Tau’ah. Pada awalnya Tau’ah tidak mengenalinya, tetapi ketika mengetahui bahwa ia adalah Muslim bin Aqil, perempuan itu segera membawanya ke rumahnya dan dipersilahkan untuk istirahat lalu memberinya makanan.


      Di rumah perempuan itu Muslim bin Aqil tidak berhenti memikirkan Imam Husein dan keluarganya, ia sangat bersedih bahwa penduduk Kufah telah berkhianat padanya sedangkan Imam Husein sudah ditengah perjalanan menuju Kufah. Tidak lama kemudian datang putra dari perempuan tersebut yang bernama Bilal. Kemudian ia bertanya kepada ibunya tentang lelaki yang berada di rumahnya. Setelah mengetahui bahwa itu adalah Muslim bin Aqil, Bilal segera melaporkan kepada Ubaidillah.


      Mendengar kabar itu Ubaidillah bin Ziyad sangat senang, lalu ia menyuruh pasukannya untuk menangkap Muslim bin Aqil dan membawanya ke Istana. Pasukan Ubaidillah berbondong menuju rumah perempuan itu. Tidak lama kemudian Muslim bin Aqil berhasil dibekukan dan ditangkap. Dalam keadaan babak belur Muslim bin Aqil diseret paksa menuju Istana Ubaidillah.


      Ketika sampai dihadapan Ubaidillah, Muslim bin Aqil diperintah untuk memberikan wasiat terakhirnya sebelum dijatuhi hukuman. Ubaidillah memerintahkan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash untuk mendengarkan dan mencatat wasiat yang akan disampaikan Muslim bin Aqil. Muslim berpesan, “Saya mempunyai hutang yang saya pinjam dari orang Kufah sebesar 700 dirham. Juallah pedang dan baju dzirrah ini untuk membayar hutangku. Kemudian kabarkan kepada warga Kufah bahwa Al-Husein akan datang kesini.”


      Setelah itu, Ubaidillah memanggil seorang algojonya yang bernama Bakir bin Hamran Ia berkata kepadanya, “Kamulah orang yang akan memotong leher orang itu.” Kemudian Muslim bin Aqil dieksekusi dengan disaksikan penduduk Kufah. Lalu kepala Muslim bin Aqil dikirimkan kepada Yazid bersama kepala-kepala para tokoh Kufah seperti Hani bin Urwah dan lainnya, sebagai laporan bahwa Ubaidillah telah menyelesaikan tugasnya dengan baik.


       Muslim bin Aqil wafat pada 9 Dzulhijah 60 H/680 M, tepatnya pada malam Idul Adha. Sedangkan Imam Husein meninggalkan Mekkah sehari sebelumnya. Imam Husein mendengar kabar bahwa Muslim bin Aqil telah dibunuh ketika perjalanan hampir dekat dengan Kufah. Kabar itu membuat Imam Husein sangat bersedih. Saat itu Imam Husein ingin mendapatkan kepastian dari penduduk Kufah, lalu ia menulis surat dan mengutus Qais bin Sahr Ash-Shaidawy untuk mengabarkan kepada penduduk Kufah bahwa Imam Husein sebentar lagi akan sampai di Kufah.


      Namun sesampainya di Kufah, Qais bin Sahr Ash-Shaidawy berhasil ditangkap oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad dan dibunuh disana. Imam Husein harap cemas menunggu kedatangan Qais. Tapi ia tak kunjung datang juga. Dalam ketidakpastian itu Imam Husein membebaskan pilihan kepada pasukan yang ikut bersamanya, ia berkata, “Pendukung kita di Kufah telah meninggalkan kita. Barangsiapa yang ingin kembali ke Mekkah, maka kembalilah.” Saat itu ada sebagian pengikutnya pulang ke Mekkah dan ada juga yang tetap ikut bersamanya untuk melanjutkan perjalanan.


      Ubaidillah bin Ziyad yang mengetahui bahwa Imam Husein sebenrar lagi akan sampai di Kufah, ia cepat-cepat mengumpulkan 4000 pasukan dan menyuruh Umar bin Sa’ad memimpin pasukan itu. Umar bin Sa’ad ditugaskan untuk memburu Imam Husein dan paksa ia untuk berbai’at kepada Yazid. Jika tetap tidak ingin berbai’at, maka harus dibunuh. Sesuai peringah Yazid bin Muawiyah. Pada mulanya Umar bin Sa’ad sangat keberatan mengemban tugas itu, namun karena Ubaidillah menjanjikan dirinya kekuasaan di Ray (Sekarang bagian Iran). Akhirnya Umar bin Sa’ad bersedia menjalankannya.


      Kemudian pasukan Umar bin Sa’ad mulai melakukan pencarian besar-besaran di sekitar Kufah. Namun pada saat itu, jumlah pasukan Umar bin Sa’ad terus berkurang karena banyak yang mengundurkan diri. Melihat itu, Ubaidillah bin Ziyad menunjuk Sa’ad bin Abdurrahman Al-Manqiri untuk mengawasi mereka dan menghukum siapa saja anggota pasukan yang tidak mau meneruskan perintah itu. Setelah itu pencarian Imam Husein terus dilanjutkan.


      Akhirnya pasukan Umar bin Sa’ad berhasil menemukan keberadaan Imam Husein bin Ali, yaitu berada di daerah Karbala jaraknya sekitar 25 mil ke arah barat laut dari Kufah. Kemudian disitu Imam Husein dan pasukannya dicegat dan ditahan, lalu dimintai bai’at kepada Yazid. Namun Imam Husein tetap menolak dengan tegas, ia ingin terus melakukan perjalanan menuju Kufah. Tapi pasukan Umar bin Sa’ad terus menahannya. Imam Husein lalu meminta dua pilihan kepada mereka bahwa biarkan ia pulang ke Mekkah atau jika tidak ia akan menemui Yazid sendiri. 


      Tapi Umar bin Sa’ad tetap menahannya. Umar bin Sa’ad cukup sabar menunggu Imam Husein sampai bersedia membai’at Yazid, hingga ia berhari-hari di tempat itu. Ketika kesabaran pasukan Umar bin Sa’ad habis, saat itu Syamr bin Dziljawsyan mengusulkan kepada Umar bin Sa’ad  untuk memblokade sungai yang berada dekat daerah itu. Ia tahu betul bahwa perbekalan Imam Husein sedikit demi sedikit akan habis, sehingga Imam Husein dan pasukannya akan kehausan.


      Rencana Syamr bin Dziljawsyan berhasil, selang berapa saat kemudian keluarga dan pasukan Imam Husein kehabisan air mereka dilanda kehausan. Kemudian Imam Husein menyuruh adiknya Abbas bin Ali untuk mengambil air di sungai. Namun sesampainya di sana Abbas bin Ali dicegat dan diserang oleh pasukan Umar bin Sa’ad sehingga membuat kedua tangannya terputus dan meninggal dunia. Pasukan Umar bin Sa’ad juga membunuh pengikut Imam Husein yang menoba melawan.


     Sementara  itu di dalam kemah, bayi Imam Husein yang bernama Ali Asghar menangis terus menerus. Karena sudah sekitar 3 hari ia tidak minum air sedikit pun. Imam Husein segera menggendong putranya itu, lalu pergi menuju pasukan Umar bin Sa’ad. Ia mencoba meminta sedikit air untuk putranya. Tapi bukannya diberikan air justru diantara pasukan Umar bin Sa’ad yang bernama Harmalah melesatkan anak panahnya. Sehingga mengenai leher putra Imam Husein yang masih bayi itu.


     Imam Husein yang melihat kondisi putranya itu tak kuasa menahan tangisnya. Putranya dipeluk dengan erat dengan keadaan sudah membiru pucat. Kemudian Imam Husein mewadahi darah yang mengucur dari leher putranya itu dengan telapak tangan. Lalu ja lemparkan ke atas dengan berkata, “Wahai Allah saksikanlah, bahwa mereka bertekad melenyapkan anak cucu keturunan NabiMu dan RasulMu.” Pasukan Umar bin Sa’ad sudah berlaku keji dan biadab.


      Setelah itu kondisinya semakin mencekam, pasukan Imam Husein keluar melakukan perlawan demi menjaga kehormatannya. Kemudian terjadilah peperangan antara pasukan Imam Husein dan pasukan Umar bin Sa’ad. Namun sebetulnya ini bukanlah sebuah peperangan tapi lebih kepada pembantaian. Karena jumlah pasukan saat itu sangatlah tidak seimbang. Pasukan Imam Husein hanya berjumlah sekitar 73 orang, sementara pasukan Umar bin Sa’ad berjumlah 4000 orang.


     Prahara telah terjadi di langit karbala, saat itu pasukan Imam Husein satu per satu tumbang. Sedangkan Imam Husein masih gagah bertempur dengan pedang Zulfiqarnya yang terus menembas pasukan musuh. Ia dianugerahi kekuatan bertempur seperti ayahnya Imam Ali bin Abi Thalib. Namun tetap karena jumlah yang tak seimbang, Imam Husein kewalahan bertempur sendirian. Sementara pasukan Umar bin Sa’ad tanpa ampun menggempur ia habis-habisan. Anak panah, tombak, dan pedang-pedang berhamburan ke arahnya. Hingga akhirnya kekuatan Imam Husein melemah, ia jatuh tersungkur ke tanah dengan kondisi yang sangat parah.


     Melihat Imam Husein yang sudah tidak berdaya, Syamr bin Dziljawsyan menyuruh seseorang untuk cepat memenggal kepalanya. Kemudian Khauli bin Yazid turun dari kudanya lalu memenggal kepala Imam Husein dan  menyerahkannya kepada Syamr. Setelah itu Syamr bin Dziljawysan berkata, “Allah telah mengahcurkan kekuatanmu!.” Lalu mereka juga memenggal kepala-kepala pasukan Imam Husein yang wafat bergeletakan. Saat itu Imam Husein wafat dengan kondisi luka yang sangat parah, ditubuhnya terdapat 33 tusukan panah dan 34 sabetan pedang.


      Pasukan Umar bin Sa’ad juga dengan bangga memperlihatkan kepala-kepala itu kepada pengikut dan keluarga Imam Husein di kemah. Sehingga membuat mereka menangis histeris dan ketakutan. Bukan hanya itu pasukan Umar bin Sa’ad  juga menjarah dan merampas harta mereka lalu menawannya dengan perlakuan tidak baik. Dalam peristiwa ini hanya satu laki-laki yang selamat. Ia adalah Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib atau biasa dikenal dengan Imam Ali Zainal Abidin, saat itu ia berdiam di kemah dan tidak ikut berperang dkarenakam sedang sakit. 


     Peristiwa ini terjadi pada 10 Muharram 61 H/681 M. Tercatat dari keluarga dan saudara Imam Husein yang ikut wafat bersamanya antara lain,  Ali Akbar bin Husein, Ali Asghar (Abdullah) bin Husein, Al-Qasim bin Hasan, Abdullah bin Muslim, Abdurrahman bin Muslim, Muhammad bin Ja’far, ‘Aun bin Ja’far, dan lain-lainnya. Sedangkan keluarga dan saudara perempuannya, Fatimah binti Husein, Sukainah binti Husein, Ar-Rabab Al-Kalbiyah (Ibu Sukainah), Zainab binti Ali, Fatimah binti Ali, Ummu Muhammad binti Hasan bin Ali, dan lainnya mereka ditawan dan diarak menuju Istana Gubernur Ubaidillah bin Ziyad bersama kepala-kepala Imam Husein dan pasukannya


       Ketika sesampainya di Istana Ubaidillah, pasukan Umar bin Sa’ad menyerahkan kepala Imam Husein. Saat itu Ubaidillah mempermainkan kepala Imam Husein dengan menusuk-nusukan tongkatnya kemulut Imam Husein. Zaid bin Arqam salah seorang sahabat Nabi yang melihat ini berkata, “Wahai Gubernur singkirkanlah tongkatmu dari mulut itu!, sungguh aku sering melihat Rasulullah Saw mencium mulut itu.” Dan ia kemudian menangis. Ubaidillah yang mendengar perkataannya itu membalas, “Sungguh kau sedang bermimpi lelaki tua, jika saja kamu tidak pelupa aku pasti telah membunuhmu!.” Kemudian Ubaidillah memerintahkan pasukannya untuk mengirimkan kepala-kepala itu dan para tawanan kepada Yazid di Damaskus sebagai keberhasilannya.


      Inilah yang terjadi 50 tahun setelah kepergian Rasulullah Saw. Padahal Rasulullah Saw sangat berjasa dan susah payah berdakwah untuk mengeluarkan mereka dari gelapnya kejahiliyaan. Dalam kurung waktu yang sesingkat itu mereka melupakan jasa-jasa Rasulullah Saw. Mereka yang mengaku sebagai umatnya, bersholawat kepadanya, dan berharap syafaatnya namun dengan tega membunuh Imam Husein cucunya dan keluarganya. Mereka sudah diperbudak dunia dan diselimuti sifat munafik serta kosongnya keimanan dalam hati. Naudzubillahi mindzalik.

Penulis : Mohammad Firdaus

Lebih baru Lebih lama