Shafar Berdarah Revolusi Imam Zaid dan Lahirnya Syiah Zaidiyah Penulis: Mochamad Firdaus

 

Revolusi Imam Zaid dan Lahirnya Syiah Zaidiyah

 

Penulis: Mochamad Firdaus




 

     Pemerintahan Dinasti Umayyah seakan tidak pernah berhenti dari cobaan konflik Politik. Kali ini Khalifah Hisyam bin Abdul Maliklah yang sedang diuji kepemimpinannya gerakan perlawanan Imam Zaid, setelah Khalifah sebelumnya Yazid bin Abdul Malik dihadapkan pemberontakan Yazid bin Muhallab dan sukses meredamkannya. Lalu bagaimana dengan Hisyam bin Abdul Malik? Mampu kah dia meredamkan kemelut intermal dan menstablikan kondisi politik kekuasaannya?

 

         Sebelum itu, mari kita mengenal sedikit dari Hisyam bin Abdul Malik. Dia lahir pada sekitar tahun 70 H/691 M, dan diangkat menjadi Khalifah pada usia 35 tahun atas wasiat saudaranya Yazid bin Abdul Malik. Hisyam dikenal sebagai orang yang cerdas, tegas dan berkemauan sangat keras. Tidak hanya itu dia juga salah satu Khalifah yang sangat paham strategi militer. Hal inilah yang membuat dirinya begitu ditakuti oleh raja-raja Eropa. Ia meninggal dunia pada tahun 125 H/742 M, dalam usianya yang ke 55 tahun.

 

        Suatu ketika, Hisyam bin Abdul Malik memecat Khalid bin Abdullah Al-Qusary dari jabatan Gubernur Irak dan menggantikannya dengan Yusuf bin Umar At-Tsaqafi, yang mana ayahnya adalah sepupu dari Al-Hajjaj bin Yusuf (Mantan Gub. Irak yang kejam dan bengis). Padahal Khalid bin Abdullah memimpin Irak dengan baik dan bijaksana. Hisyam memecatnya setelah mendapat laporan bahwa ibunya adalah seorang Nasrani, lalu dianggap telah memanjakan orang-orang Nasrani dengan memperkerjakannya di dalam pemerintahan.

 

         Berbeda dengan Khalid bin Abdullah yang memimpin Irak dengan sangat baik, Yusuf bin Umar At-Tsaqafi justru memimpin Irak dengan keras dan terkesan serampangan. Ia memimpin hanya bermodalkan kejam dan siasat liciknya. Hal ini membuat masyarakat Irak teringat akan sosok Al-Hajjaj bin Yusuf dan memunculkan perasaan trauma, karena melihat gaya kepemimpinannya yang sama persis. Sementara itu kaum Alawi (keturunan Ali bin Abi Thalib) dan Syiahnya memandang bahwa ini adalah momentum baik untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan zalim Dinasti Umayyah.

 

        Hingga muncullah Imam Zaid, ia memimpin pergerakan perlawanan terhadap kezaliman Dinasti Umayyah di Irak. Imam Zaid adalah putra dari Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, ia juga dikenal sebagai pribadi yang shaleh dan alim. Di Kufah, ia berhasil mendapatkan bai’at dan dukungan jumlahnya sampai 15.000 orang, ada juga yang berpendapat 20.000 orang. Mereka semua menyatakan siap berjuang bersama Imam Zaid demi menegakkan keadilan, bahkan seorang ulama besar sekelas Abu Hanifah atau yang biasa dikenal Imam Hanafi pun sangat mendukung penuh perjuangannya.

 

        Yusuf bin Umar At-Tsaqafi yang mengetahui kabar bahwa ada kobaran perlawanan di Kufah, segera ia mengirim 12.000 pasukan. Lalu Hisyam bin Abdul Malik juga mengirim sekitar 8.000 pasukan dari Damaskus untuk membantu Yusuf bin Umar dalam meredamkan pemberontakan Imam Zaid. Di Kufah, Imam Zaid bersama puluhan pasukannya di Kufah sudah bersiap menyambut pasukan Dinasti Umayyah untuk bertempur.

 

        Namun ketika semuanya sudah sangat siap untuk mengangkat senjata, ada sebagian pasukan Imam Zaid yang mendatanginya. Mereka bertanya kepada Imam Zaid, “Bagaimana pendapatmu mengenai Abu Bakar dan Umar?”. Imam Zaid menjawab, “Saya tidak pernah mendengar siapa pun dari keluargaku yang berbicara buruk tentang mereka.” Mereka kecewa setelah mendengar jawaban ini, lalu mereka pun satu persatu meninggalkan Imam Zaid. Pada awalnya pasukan Imam Zaid berjumlah sekitar 15.000 orang dan kini hanya tinggal 220 orang tersisa. Lalu Imam Zaid kesal dan menamakan mereka dengan kata ‘Rafidhi’ yang artinya orang yang menolak.

 

       Rupanya orang-orang Syiah Kufah tidak belajar  dari kesalahan saat terjadinya peristiwa Tragedi Karbala, saat itu mereka yang mengundang Imam Husain bin Ali untuk datang ke Kufah dan berjuang bersamanya tapi mereka mengkhianatinya. Dan kini mereka yang berjanji mendukung penuh perjuangan Imam Zaid tapi meninggalkan dan mencampakannya begitu saja. Atau memang munafik sudah menjadi karakternya masyarakat Kufah saat itu. Tidak habis pikir mereka selalu berlaku khianat dan mengecewakan Ahlul Bait.

 

        Singkat cerita meletuplah peperangan antara pasukan Imam Zaid dan pasukan Dinasti Umayyah yang dipimpin Yusuf bin Umar At-Tsaqafi. Peperangan ini sangat tidak seimbang, Imam Zaid hanya dengan 220 pasukan, sementara Yusuf bin Umar dengan puluhan ribu pasukan. Tentunya ini membuat pasukan Imam Zaid tunggang langgang diserang habis-habisan. Hingga satu per satu pasukannya menjemput kesyahidannya, sementara Imam Zaid sendiri terkena anak panah di dahinya. Saat itu kondisinya sudah sekarat, lalu pengikutnya membawa lari dan menyembunyikannya di rumah seorang dari suku Hamdan.

 

       Kemudian anak panah yang menancap di dahi Imam Zaid berusaha dicabut. Barulah setelah anak panah itu dicabut Imam Zaid menghembuskan napas terakhirnya. Ia syahid pada usianya yang ke 42 tahun. Imam Zaid dikebumikan dengan cara sembunyi-sembunyi oleh pengikutnya, hal ini dilakukan agar tidak diketahui oleh Yusuf bin Umar. Namun sayangnya, Yusuf bin Umar At-Tsaqafi tetap dapat menemukan makam Imam Zaid setelah melakukan pencarian besar-besaran. Lalu jenazah Imam Zaid dipenggal dan kepalanya dikirimkan kepada Hisyam bin Abdul Malik. Peristiwa nahas ini terjadi pada bulan Shafar tahun 122 H/740 M.

 

       Ketika menerima kepala Imam Zaid dan para pengikutnya yang berjuang bersamanya, Hisyam bin Abdul Malik melakukan tindakan yang kurang terpuji. Hisyam menggantungkan kepala Imam Zaid dan lainnya di Kanusa. Sementara di Kufah, Yusuf bin Umar At-Tsaqafi terus memburu orang-orang yang terlibat dalam perjuangan Imam Zaid untuk ditawan dan dikumpulkan, setelah itu ia membakarnya. Ia juga menyiksa istri Imam Zaid dengan ditelanjangi lalu dicambuk sampai mati. Yusuf bin Umar dengan keji telah membantai semua orang-orang yang dianggap membantu perjuangan Imam Zaid.

 

        Para pengikut Imam Zaid hidupnya terus mendapat tekanan dari Dinasti Umayyah. Namun hal ini tidak membuat para pengikut Imam Zaid yang masih tersisa itu menyerah, perjuangan Imam Zaid dilanjutkan oleh putranya yaitu Yahya bin Zaid dan seterusnya. Hingga lahirlah kelompok Zaidiyah atau Syiah Zaidiyah yang dinisbatkan kepada Imam Zaid. Kelompok ini terus berupayah merongrong dan merepotkan kekuasaan Dinasti Umayyah.

 

         Yang paling utama dalam membedakan kelompok Syiah Zaidiyah dan Syiah lainnya adalah pada pandangan sikap terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman. Jika Syiah lain kebanyakan membenci dan tidak mengakui kekhalifahan mereka, Syiah Zaidiyah justru menghrormatinya dan tetap mengakui kekhalifahan mereka. Hanya saja Syiah Zaidiyah lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib daripada keduanya. Hal ini yang kemudian disebut-sebut bahwa Syiah Zaidiyah dan Ahlussunah Waljama’ah memiliki kesamaan pandangan, meski dalam bagian tertentu keduanya memiliki perbedaan.

 

Semoga bermanfaat..

 

 

Referensi:

 

Abdul Syukur al-Azizi, Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. (Yogyakarta: Noktah, 2017)

 

Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa. Terjemahan: Samson Rahman, MA. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002)

 

Rasul Ja’farian, Sejarah Islam; Sejak Wafatnya Nabi SAW Hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah. (Jakarta: Lentera, 2009)

 

Akbar Shah Najeebabadi, The History of Islam; Vol. 2. (Riyadh: Daarussalam, 2000)

 

 

Lebih baru Lebih lama