Runtuhnya Abbasiyah:
Dalam
masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Islam mengalami puncak kejayaan dan
kedigdayaannya, khususnya pada periode Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809M).
Pada masa itu disebut juga dengan “The Golden of Age” yang artinya era keemasan
atau kegemilangan. Dunia Islam yang terletak di timur itu menerangi seluruh dunia.
Baghdad (ibu kota Dinasti Abbasiyah) menjadi kiblat peradaban dunia, pusat kemajuan
keilmuan, kepustakaan dan kebudayaan, hingga Baghdad dikenal sebagai “ negeri
1001 malam”. Keindahan bangunan dan arsitektur tata kotanya yang bulat membuat
semua orang mengelu-elukan dan mengimpikan Baghdad, pada saat itu Baghdad menjadi
kota yang tidak ada bandingannya.
Namun semua warisan kejayaan itu lambat
laun mengalami kemunduran pada masa Khalifah berikutnya. Dinasti Abbasiyah
sering diterpa konflik internal, dan juga campur tangan bangsa lain seperti
Turki dan Persia, mereka berebut pengaruh dalam tubuh kekuasaan Abbasiyah. Bahkan
ada fase dimana Khalifah tidak mempunyai
kewenangan lebih dan hanya menjadi boneka, sementara yang mengurus kekuasaan
adalah “Amirul Umara” sebuah jabatan yang lebih tinggi dari Khalifah. Kemudian
banyaknya Dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri dari kekuasaan Abbasiyah
seperti Thuluniyah, Iksidiyah, Hamdaniyah, dan lain-lain. Hal ini membuat
kondisi Dinasti Abbasiyah terus mengalami kemunduran.
Hingga tiba pada masa kepemimpinan
Khalifah Al-Musta’shim Billah, saat itu Dinasti Abbasiyah sudah terlepas dari
pengaruh bangsa lain dan kondisi politik cenderung stabil. Namun wilayah kekuasaan
Dinasti Abbasiyah hanya menyisakan Baghdad dan sekitarnya, karena wilayah-wilayah
lain sudah memisahkan diri. Al-Musta’shim sendiri tidak memiliki kepandaian
dalam memimpin kekhalifahan, dia orang yang miskin ide dan tidak tegas. Ia menyerahkan
semua tugas urusan kepemerintahannya kepada Wazirnya (Perdana Menteri) yang
bernama Muayyidudin bin Al-Alqami. Padahal Muayyidudin bin Al-Alqami adalah
seorang Syiah Rafidhi (Ekstrem), dia memanfaatkan kebodohan Al-Musta’shim untuk
kepentingannya sendiri.
Sebagaimana kita tahu bahwa orang-orang
Syiah memiliki kefanatikan terhadap Alawiyah (keturunan Ali), tak terkecuali
Muayyidudin bin Al-Alqami. Dia diam-diam menyusun rencana untuk meruntuhkan
Dinasti Abbasiyah, lalu menggantikannya dengan Alawiyah. Hal ini sebetulnya tercium
oleh orang-orang dalam istana, mereka mengadukan rencana Muayyidudin bin
Al-Alqami ini kepada Al-Musta’shim. Namun karena kebodohannya Al-Musta’shim
justru menceritakan tentang pengaduan itu kepada Muayyidudin, tentunya dia
mengelak dan membantahnya. Akhirnya Al-Musta’shim tetap mempercayainya dan
menganggap Muayyidudin bin Al-Alqami adalah orang yang setia.
Kemudian tanpa sepengetahuan Al-Musta’shim,
Muayyidudin menulis surat kepada Hulagu Khan (Penguasa Mongol), bahwa dia akan
membantunya dalam menaklukan Baghdad dengan mudah tanpa perlawanan yang
menyusahkan dengan imbalan Bani Alawi diberi kekuasaan dan orang-orang Syiah
dijamin keselamatannya. Hulagu Khan tertarik dengan tawaran Muayyidudin bin
Al-Alqami, lalu ia menyetujui kerja sama tersebut. Kini Muayyidudin resmi menjadi
pengkhianat, ia telah bersekongkol dengan Hulagu Khan. Setelah itu, Muayyidudin
juga mengurangi jumlah tentara Abbasiyah sedikit demi sedikit dengan alasan
gaji mereka yang tinggi. Hingga membuat pertahanan Abbasiyah menjadi sangat lemah.
Padahal tujuannya adalah untuk memudahkan jalan pasukan Mongol dalam melindas Baghdad
pada suatu saat nanti.
Di tengah jalan dalam perencanaan
menaklukan Baghdad, Hulagu Khan sebetulnya sempat ragu bahwa ia bisa menaklukan
Baghdad dari Abbasiyah. Namun menterinya Nashirudin At-Thusi yang juga seorang
Syiah memotivasinya dengan berkata, “Astrologi mengatakan bahwa Baghdad akan
berada dalam genggamanmu dan engkau tidak akan mengalami kerugian jika menaklukannya.”
Hulagu Khan sangat mempercayai menterinya itu, hal ini yang membuat keputusan
Hulagu Khan menjadi bulat bahwa cepat atau lambat ia akan menuju Baghdad
beserta pasukannya untuk melakukan penaklukan.
Hingga waktu itu pun tiba, Hulagu Khan mengirim
pasukan 100 ribu yang dipimpin oleh Baygonawin pergi menuju Baghdad pada tahun 655
H/1258 M. Kejadian ini diketahui oleh Al-Musta’shim, secepatnya ia mengirim
pasukan yang berjumlah 10 ribu dibawah pimpinan Mujahiduddin Aibak Ad-Dawaidar.
Namun pasukan itu dapat dikalahkan dengan mudah oleh pasukan Mongol. Akhirnya
pada 10 Muharram 656 H/Januari 1258 M, pasukan Mongol dapat mengepung penuh
kota Baghdad. Saat itu keadaan Al-Musta’shim sangat kebingungan dan gelisah, ia
memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah ini.
Kemudian Muayyidudin bin Al-Alqami mendatanginya
dan mencoba memberikan jalan keluar dengan berkata kepadanya, “Sesungguhnya
Raja Tartar (Mongol) itu ingin mengawinkan anak perempuannya dengan anakmu Abu
Bakar, dan dia akan tetap mendudukanmu di kursi kekhalifahan sebagaimana dia
membiarkan orang-orang tetap berkuasa menjadi sultan. Tak ada yang dia inginkan
kecuali kepatuhan sebagaimana kepatuhan para pendahulumu terhadap bani Saljuk.
Jika kau memenuhi itu, maka dia dan pasukannya segera pergi meninggalkanmu.
Maka terimalah permintaannya wahai Amirul Mukminin karena ini akan mencegah
tertumpahnya darah kaum muslimin. Dalam pandangan saya hendaknya kamu
menemuinya bersama-sama dengan para pembesar dan pejabat penting.”
Tidak ada pilihan lain bagi Al-Musta’shim,
mau tidak mau dia harus mengikuti saran Wazirnya itu. Lalu dipanggillah para
pejabat penting dan juga para ulama untuk mempersiapkan pernikahan atas
keinginan Hulagu Khan tersebut. Kemudian mereka bersama Khalifah Al-Musta’shim berjalan
keluar dari istana. Namun setibanya disana mereka dikejutkan dengan tebasan
pedang dilehernya. Para pejabat penting dan para ulama dibantai habis saat itu
juga begitupun dengan putranya. Sementara Al-Musta’shim ditahan oleh pasukan
Mongol. Disinilah Al-Musta’shim baru menyadari bahwa ternyata benar Muayyidudin
bin Al-Alqami itu seorang pengkhianat dengan bersekongkol dengan Hulagu Khan.
Kemudian Baghdad diporak-porandakan oleh
pasukan Mongol, mereka membantai warga sipil baik anak-anak, pria, maupun
wanita. Hampir tidak ada yang selamat dalam pembantaian ini kecuali orang-orang
yang bersembunyi di dalam sumur dan dibawah kolong jembatan. Jumlah kaum
muslimin yang meninggal mencapai 800 ribu jiwa, ada juga yang berpendapat 1
juta jiwa. Saat itu mayat-mayat bergelimpangan dan darah mengalir deras ke
sungai, hingga membuat warna airnya merah kehitaman. Bukan hanya itu, mereka
juga menghancurkan Baitul Hikmah (Pusat Keilmuan & Perpustakaan) dan
membuang semua buku-buku terkemuka ke dalam sungai tigris hingga tak tersisa.
Hingga pada bulan Shafar 656 H/Februari 1258
M, Hulagu Khan dengan membawa Al-Musta’shim memasuki Istana kekhalifahan. Saat
itu Hulagu Khan berkata kepada Al-Musta’shim, “Kami adalah tamumu, berikanlah
sesuatu untuk kami.” Lalu Al-Musta’shim pergi menuju tempat perbendaharaan.
Namun karena perasaan yang sangat takut dan gerogi Al-Musta’shim tidak dapat
menemukan kunci yang tepat untuk membuka ruangan perbendaharaan, lalu ia
membukanya dengan merusak gembok pintunya. Disitu terdapat beberapa harta, ada
2 ribu pakaian mewah, perhiasan emas, dan uang yang berjumlah 1 ribu dinar. Ia
memberikan harta itu semua kepada Hulagu Khan.
Tidak sampai disitu Al-Musta’shim juga
menunjukkan tempat harta karun kekhalifahan kepada Hulagu Khan. Ia menyuruh
orang-orang untuk menggali tempat itu. Disitu terdapat tangki-tangki berisi
emas batangan, permata, dan juga sekantong koin-koin emas. Setelah itu Al-Musta’shim
dibawa ke dalam suatu ruangan dan dikurung disana tanpa makanan dan minuman. Hingga
Al-Musta’shim memohon kepada Hulagu Khan untuk diberi makan dan minum. Lalu
Hulagu Khan mengirimkan satu piring dengan isi permata. Al-Musta’shim bingung
ia berkata, “Bagaimana aku bisa memakannya?.” Hulagu Khan menjawab, “Kenapa anda
tidak menggunakan ini untuk menyelamatkan ratusan ribu nyawa wargamu, dengan
membayarkan kepada tentaramu agar mereka menjaga negara dan melindungimu?.”
Kemudian Hulagu Khan berdiskusi dengan orang-orangnya
untuk membahas bagaimana cara membunuh Al-Musta’shim. Nashirudin At-Thusi saat
itu berpendapat, ia berkata kepada Hulagu Khan, “Al-Musta’shim adalah seorang
Khalifah umat Islam, jangan membunuhnya dengan pedang hingga ternodai oleh darahnya,
bunuhlah ia dengan cara dibungkus dengan selimut lalu ditendang.” Hulagu Khan
menerima saran itu, lalu ia menyuruh Muayyidudin bin Al-Alqami untuk membungkus
Al-Musta’shim dan mengikatnya lalu ditendang-tendang sangat keras hingga ia
meninggal. Muayyidudin bin Al-Alqami ketika melihat Al-Musta’shim sudah tak
berdaya, ia hanya tertawa lepas karena dendamnya terhadap Bani Abbasiyah sudah terbayarkan.
Setelah beberapa lama peristiwa penaklukan
itu, Baghdad telah dikuasai oleh bangsa Mongol dan Hulagu Khan menaruh
orang-orang kepercayaannya untuk mengatur Baghdad. Saat itu juga Muayyidudin bin
Al-Alqami menagih janji bahwa kekuasaan di Baghdad diberikan kepada Bani Alawi.
Namun hal ini tidak ditanggapi oleh Hulagu Khan, ia kemudian menelantarkan
Muayyidudin. Padahal itu adalah cita-cita utama Muayyidudin bin Al-Alqami, segala
usahanya dengan mengorbankan ratusan ribu jiwa kaum muslimin kini tidak berarti.
Dulu ia telah mengkhianati Khalifah Al-Musta’shim dan kini ia telah dikhianati oleh
Hulagu Khan, sungguh mengenaskan.
Itulah segelintir kisah runtuhnya
Abbasiyah dan ditaklukannya Baghdad oleh bangsa Mongol. Baghdad yang dulu
menjadi kiblat peradaban dan kebudayaan, kini hanya menyisakan
reruntuhan-reruntuhan. Yang lebih menyakitkan adalah megatragedi yang membuat
umat Islam sulit melupakannya yaitu pembantaian warga sipil, hampir satu juta
jiwa kaum muslimin dibunuh dengan mengenaskan. Pusat keilmuan juga dihancurkan
buku-buku dibuang, hingga membuat umat Islam kehilangan karya-karya keilmuan
para ulama dan tidak menyisakan kecuali sedikit saja. Setelah peristiwa itu keadaan
umat Islam mengalami kemunduran dan kemerosotan yang sangat drastis.
Dari kisah ini kita bisa mengambil
banyak hikmah untuk dijadikan pelajaran. Bahwa persatuan Islam adalah hal yang
paling penting. Kita dapat memahami bahwa orang-orang seperti Muayyidudin bin
Al-Alqami itu dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh musuh-musuh Islam. Tak terkecuali
Hulagu Khan ia sangat cerdik memanfaatkan perseteruan Ahlussunah dan Syiah, hal
ini yang merongrong persatuan Islam menjadi pecah dan mudah dicerai beraikan,
hingga ia dapat menggulingkan kekuasaan Abbasiyah dengan mudah. Saat ini
cukupkan perdebatan mengenai siapa yang salah dan siapa yang benar, hal yang
harus kita pikirkan adalah bagaimana kita harus membangun keharmonisan dengan
saling menghormati dan memahami satu sama lain. Agar kisah-kisah seperti ini
tidak terulang kembali di masa sekarang.
Semoga
bermanfaat...
Referensi:
Philip
K. Hitti, History of The Arabs. Terjemahan: R. Cecep Lukman & Dedi
Slamet Riyadi. (Jakarta: Serambi, 2006)
Imam
As-Suyuthi, Tarikh Khulafa. Terjemahan: Samson Rahman, MA. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2002)
Dr.
Fathi Zaghrut, Bencana-Bencana Besar Dalam Sejarah Islam. Terjemahan:
Masturi Irham & Malik Supar. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014)
Akbar
Shah Najeebabadi, The History of Islam: Vol. 2. (Riyadh: Daarussalam,
2000)
Dr.
Siti Zubaidah M.Ag, Sejarah Peradaban Islam. (Medan: Perdana Publishing,
2016)