Runtuhnya Abbasiyah: Prahara di Langit Baghdad

 Runtuhnya Abbasiyah:

Prahara di Langit Baghdad

Penulis: Mochamad Firdaus


Dalam masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah, Islam mengalami puncak kejayaan dan kedigdayaannya, khususnya pada periode Khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809M). Pada masa itu disebut juga dengan “The Golden of Age” yang artinya era keemasan atau kegemilangan. Dunia Islam yang terletak di timur itu menerangi seluruh dunia. Baghdad (ibu kota Dinasti Abbasiyah) menjadi kiblat peradaban dunia, pusat kemajuan keilmuan, kepustakaan dan kebudayaan, hingga Baghdad dikenal sebagai “ negeri 1001 malam”. Keindahan bangunan dan arsitektur tata kotanya yang bulat membuat semua orang mengelu-elukan dan mengimpikan Baghdad, pada saat itu Baghdad menjadi kota yang tidak ada bandingannya.

 

       Namun semua warisan kejayaan itu lambat laun mengalami kemunduran pada masa Khalifah berikutnya. Dinasti Abbasiyah sering diterpa konflik internal, dan juga campur tangan bangsa lain seperti Turki dan Persia, mereka berebut pengaruh dalam tubuh kekuasaan Abbasiyah. Bahkan ada fase dimana  Khalifah tidak mempunyai kewenangan lebih dan hanya menjadi boneka, sementara yang mengurus kekuasaan adalah “Amirul Umara” sebuah jabatan yang lebih tinggi dari Khalifah. Kemudian banyaknya Dinasti-dinasti kecil yang memisahkan diri dari kekuasaan Abbasiyah seperti Thuluniyah, Iksidiyah, Hamdaniyah, dan lain-lain. Hal ini membuat kondisi Dinasti Abbasiyah terus mengalami kemunduran.

 

       Hingga tiba pada masa kepemimpinan Khalifah Al-Musta’shim Billah, saat itu Dinasti Abbasiyah sudah terlepas dari pengaruh bangsa lain dan kondisi politik cenderung stabil. Namun wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah hanya menyisakan Baghdad dan sekitarnya, karena wilayah-wilayah lain sudah memisahkan diri. Al-Musta’shim sendiri tidak memiliki kepandaian dalam memimpin kekhalifahan, dia orang yang miskin ide dan tidak tegas. Ia menyerahkan semua tugas urusan kepemerintahannya kepada Wazirnya (Perdana Menteri) yang bernama Muayyidudin bin Al-Alqami. Padahal Muayyidudin bin Al-Alqami adalah seorang Syiah Rafidhi (Ekstrem), dia memanfaatkan kebodohan Al-Musta’shim untuk kepentingannya sendiri.

 

        Sebagaimana kita tahu bahwa orang-orang Syiah memiliki kefanatikan terhadap Alawiyah (keturunan Ali), tak terkecuali Muayyidudin bin Al-Alqami. Dia diam-diam menyusun rencana untuk meruntuhkan Dinasti Abbasiyah, lalu menggantikannya dengan Alawiyah. Hal ini sebetulnya tercium oleh orang-orang dalam istana, mereka mengadukan rencana Muayyidudin bin Al-Alqami ini kepada Al-Musta’shim. Namun karena kebodohannya Al-Musta’shim justru menceritakan tentang pengaduan itu kepada Muayyidudin, tentunya dia mengelak dan membantahnya. Akhirnya Al-Musta’shim tetap mempercayainya dan menganggap Muayyidudin bin Al-Alqami adalah orang yang setia.

        Kemudian tanpa sepengetahuan Al-Musta’shim, Muayyidudin menulis surat kepada Hulagu Khan (Penguasa Mongol), bahwa dia akan membantunya dalam menaklukan Baghdad dengan mudah tanpa perlawanan yang menyusahkan dengan imbalan Bani Alawi diberi kekuasaan dan orang-orang Syiah dijamin keselamatannya. Hulagu Khan tertarik dengan tawaran Muayyidudin bin Al-Alqami, lalu ia menyetujui kerja sama tersebut. Kini Muayyidudin resmi menjadi pengkhianat, ia telah bersekongkol dengan Hulagu Khan. Setelah itu, Muayyidudin juga mengurangi jumlah tentara Abbasiyah sedikit demi sedikit dengan alasan gaji mereka yang tinggi. Hingga membuat pertahanan Abbasiyah menjadi sangat lemah. Padahal tujuannya adalah untuk memudahkan jalan pasukan Mongol dalam melindas Baghdad pada suatu saat nanti.

 

      Di tengah jalan dalam perencanaan menaklukan Baghdad, Hulagu Khan sebetulnya sempat ragu bahwa ia bisa menaklukan Baghdad dari Abbasiyah. Namun menterinya Nashirudin At-Thusi yang juga seorang Syiah memotivasinya dengan berkata, “Astrologi mengatakan bahwa Baghdad akan berada dalam genggamanmu dan engkau tidak akan mengalami kerugian jika menaklukannya.” Hulagu Khan sangat mempercayai menterinya itu, hal ini yang membuat keputusan Hulagu Khan menjadi bulat bahwa cepat atau lambat ia akan menuju Baghdad beserta pasukannya untuk melakukan penaklukan.

 

      Hingga waktu itu pun tiba, Hulagu Khan mengirim pasukan 100 ribu yang dipimpin oleh Baygonawin pergi menuju Baghdad pada tahun 655 H/1258 M. Kejadian ini diketahui oleh Al-Musta’shim, secepatnya ia mengirim pasukan yang berjumlah 10 ribu dibawah pimpinan Mujahiduddin Aibak Ad-Dawaidar. Namun pasukan itu dapat dikalahkan dengan mudah oleh pasukan Mongol. Akhirnya pada 10 Muharram 656 H/Januari 1258 M, pasukan Mongol dapat mengepung penuh kota Baghdad. Saat itu keadaan Al-Musta’shim sangat kebingungan dan gelisah, ia memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah ini.

 

       Kemudian Muayyidudin bin Al-Alqami mendatanginya dan mencoba memberikan jalan keluar dengan berkata kepadanya, “Sesungguhnya Raja Tartar (Mongol) itu ingin mengawinkan anak perempuannya dengan anakmu Abu Bakar, dan dia akan tetap mendudukanmu di kursi kekhalifahan sebagaimana dia membiarkan orang-orang tetap berkuasa menjadi sultan. Tak ada yang dia inginkan kecuali kepatuhan sebagaimana kepatuhan para pendahulumu terhadap bani Saljuk. Jika kau memenuhi itu, maka dia dan pasukannya segera pergi meninggalkanmu. Maka terimalah permintaannya wahai Amirul Mukminin karena ini akan mencegah tertumpahnya darah kaum muslimin. Dalam pandangan saya hendaknya kamu menemuinya bersama-sama dengan para pembesar dan pejabat penting.”

 

       Tidak ada pilihan lain bagi Al-Musta’shim, mau tidak mau dia harus mengikuti saran Wazirnya itu. Lalu dipanggillah para pejabat penting dan juga para ulama untuk mempersiapkan pernikahan atas keinginan Hulagu Khan tersebut. Kemudian mereka bersama Khalifah Al-Musta’shim berjalan keluar dari istana. Namun setibanya disana mereka dikejutkan dengan tebasan pedang dilehernya. Para pejabat penting dan para ulama dibantai habis saat itu juga begitupun dengan putranya. Sementara Al-Musta’shim ditahan oleh pasukan Mongol. Disinilah Al-Musta’shim baru menyadari bahwa ternyata benar Muayyidudin bin Al-Alqami itu seorang pengkhianat dengan bersekongkol dengan Hulagu Khan.

 

       Kemudian Baghdad diporak-porandakan oleh pasukan Mongol, mereka membantai warga sipil baik anak-anak, pria, maupun wanita. Hampir tidak ada yang selamat dalam pembantaian ini kecuali orang-orang yang bersembunyi di dalam sumur dan dibawah kolong jembatan. Jumlah kaum muslimin yang meninggal mencapai 800 ribu jiwa, ada juga yang berpendapat 1 juta jiwa. Saat itu mayat-mayat bergelimpangan dan darah mengalir deras ke sungai, hingga membuat warna airnya merah kehitaman. Bukan hanya itu, mereka juga menghancurkan Baitul Hikmah (Pusat Keilmuan & Perpustakaan) dan membuang semua buku-buku terkemuka ke dalam sungai tigris hingga tak tersisa.

 

      Hingga pada bulan Shafar 656 H/Februari 1258 M, Hulagu Khan dengan membawa Al-Musta’shim memasuki Istana kekhalifahan. Saat itu Hulagu Khan berkata kepada Al-Musta’shim, “Kami adalah tamumu, berikanlah sesuatu untuk kami.” Lalu Al-Musta’shim pergi menuju tempat perbendaharaan. Namun karena perasaan yang sangat takut dan gerogi Al-Musta’shim tidak dapat menemukan kunci yang tepat untuk membuka ruangan perbendaharaan, lalu ia membukanya dengan merusak gembok pintunya. Disitu terdapat beberapa harta, ada 2 ribu pakaian mewah, perhiasan emas, dan uang yang berjumlah 1 ribu dinar. Ia memberikan harta itu semua kepada Hulagu Khan.

 

      Tidak sampai disitu Al-Musta’shim juga menunjukkan tempat harta karun kekhalifahan kepada Hulagu Khan. Ia menyuruh orang-orang untuk menggali tempat itu. Disitu terdapat tangki-tangki berisi emas batangan, permata, dan juga sekantong koin-koin emas. Setelah itu Al-Musta’shim dibawa ke dalam suatu ruangan dan dikurung disana tanpa makanan dan minuman. Hingga Al-Musta’shim memohon kepada Hulagu Khan untuk diberi makan dan minum. Lalu Hulagu Khan mengirimkan satu piring dengan isi permata. Al-Musta’shim bingung ia berkata, “Bagaimana aku bisa memakannya?.” Hulagu Khan menjawab, “Kenapa anda tidak menggunakan ini untuk menyelamatkan ratusan ribu nyawa wargamu, dengan membayarkan kepada tentaramu agar mereka menjaga negara dan melindungimu?.”

 

      Kemudian Hulagu Khan berdiskusi dengan orang-orangnya untuk membahas bagaimana cara membunuh Al-Musta’shim. Nashirudin At-Thusi saat itu berpendapat, ia berkata kepada Hulagu Khan, “Al-Musta’shim adalah seorang Khalifah umat Islam, jangan membunuhnya dengan pedang hingga ternodai oleh darahnya, bunuhlah ia dengan cara dibungkus dengan selimut lalu ditendang.” Hulagu Khan menerima saran itu, lalu ia menyuruh Muayyidudin bin Al-Alqami untuk membungkus Al-Musta’shim dan mengikatnya lalu ditendang-tendang sangat keras hingga ia meninggal. Muayyidudin bin Al-Alqami ketika melihat Al-Musta’shim sudah tak berdaya, ia hanya tertawa lepas karena dendamnya terhadap Bani Abbasiyah sudah terbayarkan.

 

      Setelah beberapa lama peristiwa penaklukan itu, Baghdad telah dikuasai oleh bangsa Mongol dan Hulagu Khan menaruh orang-orang kepercayaannya untuk mengatur Baghdad. Saat itu juga Muayyidudin bin Al-Alqami menagih janji bahwa kekuasaan di Baghdad diberikan kepada Bani Alawi. Namun hal ini tidak ditanggapi oleh Hulagu Khan, ia kemudian menelantarkan Muayyidudin. Padahal itu adalah cita-cita utama Muayyidudin bin Al-Alqami, segala usahanya dengan mengorbankan ratusan ribu jiwa kaum muslimin kini tidak berarti. Dulu ia telah mengkhianati Khalifah Al-Musta’shim dan kini ia telah dikhianati oleh Hulagu Khan, sungguh mengenaskan.

 

      Itulah segelintir kisah runtuhnya Abbasiyah dan ditaklukannya Baghdad oleh bangsa Mongol. Baghdad yang dulu menjadi kiblat peradaban dan kebudayaan, kini hanya menyisakan reruntuhan-reruntuhan. Yang lebih menyakitkan adalah megatragedi yang membuat umat Islam sulit melupakannya yaitu pembantaian warga sipil, hampir satu juta jiwa kaum muslimin dibunuh dengan mengenaskan. Pusat keilmuan juga dihancurkan buku-buku dibuang, hingga membuat umat Islam kehilangan karya-karya keilmuan para ulama dan tidak menyisakan kecuali sedikit saja. Setelah peristiwa itu keadaan umat Islam mengalami kemunduran dan kemerosotan yang sangat drastis.

 

       Dari kisah ini kita bisa mengambil banyak hikmah untuk dijadikan pelajaran. Bahwa persatuan Islam adalah hal yang paling penting. Kita dapat memahami bahwa orang-orang seperti Muayyidudin bin Al-Alqami itu dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh musuh-musuh Islam. Tak terkecuali Hulagu Khan ia sangat cerdik memanfaatkan perseteruan Ahlussunah dan Syiah, hal ini yang merongrong persatuan Islam menjadi pecah dan mudah dicerai beraikan, hingga ia dapat menggulingkan kekuasaan Abbasiyah dengan mudah. Saat ini cukupkan perdebatan mengenai siapa yang salah dan siapa yang benar, hal yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kita harus membangun keharmonisan dengan saling menghormati dan memahami satu sama lain. Agar kisah-kisah seperti ini tidak terulang kembali di masa sekarang.

 

Semoga bermanfaat...

 

 

Referensi:

 

Philip K. Hitti, History of The Arabs. Terjemahan: R. Cecep Lukman & Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: Serambi, 2006)

 

Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa. Terjemahan: Samson Rahman, MA. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002)

 

Dr. Fathi Zaghrut, Bencana-Bencana Besar Dalam Sejarah Islam. Terjemahan: Masturi Irham & Malik Supar. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014)

 

Akbar Shah Najeebabadi, The History of Islam: Vol. 2. (Riyadh: Daarussalam, 2000)

 

Dr. Siti Zubaidah M.Ag, Sejarah Peradaban Islam. (Medan: Perdana Publishing, 2016)

 



Lebih baru Lebih lama