Surat Kartini bagi Pendidikan Anak Perempuan sebagai Bekal Mendidik Generasi Penerus Bangsa.

Surat Kartini bagi Pendidikan Anak Perempuan sebagai Bekal Mendidik Generasi Penerus Bangsa.

                        Oleh : Alifa Cholifiah


“Panggil aku Kartini saja, itu namaku… ” begitu kurang lebih isi surat yang dibahas dalam buku Sisi Lain Kartini. Hal itu menggambarkan bahwa ia lebih meninggalkan gelar yang disematkannya yakni Raden Ajeng karena sebab ia sebagai keturunan priyayi dan bangsawan dari pasangan R.M Sosroningrat dan Ajeng Ngasirah, lebih tepatnya cucu dari Bupati Demak, Pangeran Aryo Tjondronegoro. Kartini kecil mengenyam pendidikan di Europesche Legere School (ELS), sebuah sekolah yang didirikan bagi kaum bangsawan (Orang Eropa dan Indonesia). Selain itu, Ia juga mengikuti pengajian agama bersama Mbah Sholeh Darat.

Kartini selalu menuangkan pemikirannya ke dalam surat-surat yang ditulisnya, terutama tentang pendidikan bagi anak perempuan. Suratnya selalu berkaitan dengan tujuh konsep harkat dan martabat perempuan yang diantaranya terdapat tentang perempuan berpendidikan, berbudi luhur, berketerampilan, bebas dan beradab serta terpelajar, berpengetahuan ilmu agama, bekerjasama dengan laki-laki, dan menghapus sistem kasta di masyarakat. Sehingga pada Juni 1903 M Kartini menggandeng Rukmini (Adik Kartini) untuk turut serta membuka sekolah bagi anak-anak perempuan yang berfokus pada pembentukan dan pembinaan karakter anak. 

Pada dasarnya, pendidikan merupakan hak yang mesti didapatkan oleh setiap warga negara. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang menegaskan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Secara umum, pendidikan dalam hal ini menyangkut pendidikan formal dan informal. Dengan lebih rinci lagi, pendidikan formal bisa didapatkan dari para pendidik yang bisa dipahami sebagai dosen, guru, konselor, dan sebagainya sesuai dengan UU No.2 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 Ayat 1. Maka, orangtua tidak bisa dikatakan sebagai pendidik dalam kasus demikian. Namun, bisa dipastikan bahwa pendidikan informal dalam lingkungan keluarga sebagai rumah pertama bagi anak merupakan wadah yang paling mendasar bagi pembentukan karakter anak. Materi pembelajaran di sekolah yang diampu oleh para pendidik tidak serta merta bisa membentuk perilaku anak. Maka dari itu, pendidikan informal sangat bergantung kepada lingkungan dan kebiasaan sehingga bertumpu pada peran kedua orangtua dalam menanamkan kebiasaan untuk pembentukan karakter atau akhlak anaknya.

Dalam suratnya ia menuliskan bahwa,”Menjadi guru merupakan hal yang paling dicita-citakan, namun tidak hanya sekadar pengasah pikiran, tetapi juga menjadi pembentuk budi pekerti…” Konsep pemikiran tersebut selaras dengan pendidikan formal dan informal. Harus ada korelasi yang seimbang diantara keduanya demi terwujudnya pendidikan yang baik bagi anak. kehadiran pendidikan formal di sekolah akan mengasah kemampuan anak dalam berkembang, berfikir, serta mengelola informasi. Sedangkan, kehidupannya di rumah merupakan sekolah informal yang membuatnya harus belajar menyeimbangkan kebiasaan, lingkungan, serta pembentukan karakter dari kedua orangtuanya. Jika keduanya seimbang, maka seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan dan kebiasaan yang baik sehingga ia bisa menjadi pribadi dengan sopan santun, tata karma, watak dan perilaku terpuji akan lebih bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan luar, oranglain, serta memiliki kemampuan adaptasi yang baik akan mempermudah dirinya dalam proses pembelajaran formal di sekolah, baik itu melalui cara berfikirnya, hubungannya dengan guru atau teman sebaya, dan kemampuan fisik atau mentalnya dalam mengelola informasi atau pembelajaran baru. Maka apabila keduanya sudah tercapai dengan sempurna, upaya pendidikan secara garis besar sudah dapat terlaksana dengan baik. 

Hal yang bisa disimpulkan dari surat Kartini yang lain, bahwa “Sekolah akan melahirkan kecerdasan pikiran, sementara rumah menjadi tempat yang paling sungguh untuk membentuk watak seorang anak.” Walaupun rumah ini diartikan sebagai kedua orangtua, namun orang yang paling bertanggungjawab terhadap pembentukan karakternya adalah ibu. Hal tersebut juga tertuang dalam surat Kartini bahwa,”Ibu yang jadi pusat kehidupan rumah tangga, dari kepala ibu itulah dipertanggungkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu: yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya.” Kartini juga menegaskan tentang seberapa besar pengaruh ibu bagi anak-anaknya, ia mengatakan ”… siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat manusia? Ialah perempuan, ibu, karena pada haribaan si ibu itulah manusia itu mendapat didikannya yang mula-mulanya sekali, oleh karena disanalah pangkal anak itu belajar merasa berfikir, dan berkata …” Ketika kita mampu bercermin dalam tulisan ini, maka kita akan memahami bahwa konsep tersebut mengacu pada sosok Ibu yang menjadi ahli waris sikap, sifat, karakter dan budi pekerti seorang anak, karena bersama ibu seorang anak akan belajar mengenal banyak hal untuk pertama kalinya. Setiap sentuhan ibu, perkataan serta apa-apa yang diajarkan oleh ibu akan menjadi hal yang paling pertama ia dapatkan selama hidupnya, maka tidak heran jika hal tersebut bisa berpengaruh dalam perkembangan dirinya. Itu juga yang menjadi latar dari surat Kartini yang berbunyi, ”Perempuanlah yang menaburkan bibit rasa kebaktian dan kejahatan yang pertama-tama sekali dalam hati sanubari manusia…” Maka, apa yang ditanamkan ibu untuk pertama kali, akan selalu direkam dengan sempurna oleh anak. 

Keberhasilan seorang ibu dalam mendidik anaknya akan nampak terlihat ketika anaknya sudah mendapatkan pendidikan formal dan informal dengan seimbang, berpengaruh baik dalam lingkungannya, mampu memajukan bangsa, bermanfaat bagi banyak orang, serta menjadi generasi penerus bangsa yang unggul sehingga jika hal tersebut sudah dicapai, maka sumbangsih seorang Ibu terhadap bangsa dan negara bisa diperoleh atau didapatkan secara tidak langsung lewat anaknya yang sudah dididik dengan baik dan bijak. Maka untuk mencapai tujuan mulia itu, Kartini gencar menulis surat yang berisikan pemikirannya mengenai pentingngnya pendidikan bagi perempuan. “Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu.” Yang bisa dipahami dalam surat itu, bagi Kartini mendidik serta membentuk karakter anak bukan sesuatu yang sepele, jika seorang ibu sebelumnya tidak mengeyam pendidikan yang sempurna, maka bagaimana ia bisa memberikan pendidikan terbaiknya bagi anaknya yang merupakan calon generasi penerus bangsa? Dengan adanya pendidikan bagi anak perempuan, maka kedepannya akan tercipta perempuan-perempuan dengan kecerdasan dan intelektual yang memadai serta menjunjung tinggi budi pekerti sehingga mampu mendidik dan membentuk karakter anak-anaknya kelak menjadi bibit unggul penerus bangsa. Karena hal ini juga selaras dengan ungkapan Kartini dalam suratnya,”Karena itulah kami minta pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak gadis… peradaban dan kepintarannya pasti akan diturunkan kepada anak-anaknya; anak-anaknya yang perempuan akan jadi ibu pula, dan anak-anaknya yang laki-laki yang akhirnya kelak mesti menjadi penjaga kepentingan bangsanya.” 

REFERENSI

Marfu’ah, Uliyatul. (2020). Konsep Harkat dan Martabat Perempuan dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang Karya R.A Kartini dan Relevansinya terhadap Pendidikan Islam. Jurnal Insania. Vol.25.2. hal. 141-161.

Rivaldi, Moh, Abdul. (2020). Ibu sebagi Madrasah bagi Anaknya: Pemikiran Pendidikan R.A. Kartini. Jurnal of Islamic Education Policy. Vol.5.2. hal. 91-98.
Lebih baru Lebih lama