Menolak Lupa : Mengenang Pilu Tragedi Trisakti 12 Mei 1998

Awal tahun 1998, perekonomian di Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya terganggu. Hal ini dikarenakan pengaruh dari adanya krisis finansial Asia sepanjang tahun 1997 sampai 1999.

Dikarenakan kacaunya ekonomi dan korupsi dimana-mana yang mendorong mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 12 Mei 1998 ke Gedung Nusantara, Jakarta. Dalam aksi tersebut terdapat para mahasiswa dari universitas Trisakti.

Siang hari yang terik pada pukul 12:30 para mahasiswa melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju ke Gedung Nusantara. Ditengah jalan aksi mereka dihadang aparat kepolisian yang disusul dengan kedatangan militer. Kemudian beberapa mahasiswa mencoba untuk bernegosiasi dengan pihak Polri.

Saat senja tiba pukul 17:15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti pergerakan dari aparat yang mulai bergerak maju mengejar mahasiswa. Aparat pun mulai menembakkan peluru mereka ke arah mahasiswa. Sontak hal tersebut membuat para mahasiswa panik dan lari tercerai-berai.

Aparat yang beringas tanpa henti menembaki satu per satu, hingga korban mulai berjatuhan dan dibawa ke Rumah Sakit Sumber Waras.

Selain menembaki para mahasiswa dari belakang, aparat juga bersiap diatas fly over Grogol dan jembatan penyeberangan. Aparat menembaki bukan hanya dengan peluru karet tapi juga menggunakan peluru tajam. 

Saat aksi berlangsung wakil Komnas HAM pada saat itu, Marzuki Darusman, ikut ditengah-tengah massa aksi di kampus Trisakti, beliau menyatakan adanya serangan terhadap kemanusiaan dalam menangani massa.

Suasana pilu kesedihan menyelimuti Rumah Sakit Sumber Waras. Dalam aksi tersebut memakan korban luka-luka sebanyak 681 orang dan menewaskan empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban dalam tragedi memilukan tersebut. Dari hasil otopsi ditubuh korban terdapat peluruh tajam, yang mana pada saat massa aksi hanya aparat dan pihak militer yang membawa senjata api.

Kapolri pada saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah tuduhan tentang anak buahnya menggunakan peluru tajam. Selain itu, Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi hanya menggunakan peluru karet, peluru kosong, pemukul, dan gas air mata.

Dalam persidangan beberapa tahun kemudian terhadap terhadap enam korban tidak mendapat hasil yang pasti tentang siapa pelaku yang bertanggung jawab atas tragedi nahas ini. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.

Peristiwa tersebut kemudian menyulut kobaran semangat mahasiswa hingga berujung demonstrasi lebih besar pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998.

Kondisi bangsa yang tak terkendali memaksa presiden Soeharto meletakkan jabatannya di depan Mahkamah Agung pada tanggal 21 Mei 1998 pada pukul 10:00 pagi. Pada saat yang sama, Soeharto menunjuk B.J Habibie untuk mengganti posisinya sebagai Presiden.

Empat mahasiswa yang meninggal saat peristiwa tersebut antara mereka adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. “Mereka adalah pejuang dan tonggak bangsa dalam menyongsong era baru walaupun kasusnya tak kunjung terungkap." Pengorbanan sebagai pendobrak dan pembawa perubahan membuat pemerintah menetapkan mereka sebagai pejuang reformasi.

"Keadilan takkan pernah mati, ia akan selalu hidup meski dalam lorong yang sepi"



Referensi: https://humas.trisakti.ac.id/museum/sejarah-reformasi-12mei/

Penulis: Iswanto 
Lebih baru Lebih lama