18 Tahun Kasus Munir Kedaluwarsa


Pada 7 September 2004 Munir dengan penuh semangat berangkat ke Belanda. Ia hendak melanjutkan studinya. Berangkat dari Jakarta menuju Amsterdam dengan menumpang pesawat Garuda bernomor penerbangan GA-974, aktivis ini justru kehilangan nyawanya saat menenggak jus jeruk yang mengandung Arsenik yang sangat beracun.

Saat itu Munir tutup usia 38 tahun setelah berjuang sangat keras dalam mendukung Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Selama menjadi aktivis, Munir mengkritik keras pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia di Timor Timur, Aceh, dan Papua, termasuk juga keterlibatan TNI dalam pengedaran narkoba dan penebangan hutan liar di lokasi konflik tersebut.

Munir juga terlibat dalam penyelidikan keterlibatan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dalam penculikan mahasiswa dan aktivis HAM menjelang akhir kekuasaan orde baru Presiden Suharto.

Jiwa-jiwa aktivis Munir terlihat dari saat dia berkuliah, Munir adalah alumnus Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya. Ia pernah menjadi ketua Senat Mahasiswa FH UNIBRAW pada tahun 1998. Dia juga pernah menjadi Koordinator Wilayah IV Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia.

Lalu, Munir pernah menjadi anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, Sekretaris Dewan Perwakilan Mahasiswa Hukum Unibraw, dan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Lepas dari bangku kuliah, Munir terus melibatkan dirinya dalam dunia aktivis. Dia pernah menjadi Dewan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Sebagai organisasi yang bekerja memantau persoalan HAM, Kontras banyak mendapat pengaduan dan masukan dari berbagai elemen masyarakat mengenai pelanggaran HAM di berbagai daerah.

Munir pernah menjadi penasihat hukum untuk korban atau keluarga korban penghilangan orang secara paksa terhadap 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta pada 1997 sampai 1998.

Dia juga pernah menjadi penasihat hukum keluarga korban tragedi Tanjung Priok 1984. Munir juga menangani kasus Araujo yang dituduh sebagai pemberontak yang melawan pemerintah Indonesia untuk memerdekakan Timor Timur tahun 1992.

Kasus besar lainnya yang pernah ia tangani juga masih menjadi perbincangan dikalangan aktivis adalah kasus pembunuhan Marsinah, aktivis buruh. Ia diduga tewas di tangan aparat keamanan pada tahun 1994.

Ketika menjabat Dewan Kontras, namanya melambung karena membela orang-orang hilang yang diculik. Munir membela aktivis yang hilang karena penculikan yang disebut dilakukan oleh Tim Mawar dari Kopassus TNI AD.

Dalam perjalanan studi ke Belanda pesawat Munir sempat melakukan transit di Singapura. Kemudian, saat melanjutkan perjalanan ke Belanda tiba-tiba Munir sakit perut setelah menenggak segelas jus jeruk. Dalam keadaan kesakitan Munir sempat mendapat pertolongan dari penimbang pesawat yang berprofesi sebagai dokter, tetapi kemudian nyawanya tak tertolong. Ia meninggal dunia saat berada diketinggian 40.000 kaki diatas wilayah Rumania pada 7 September 2004.

Berbagai macam tuduhan jatuh kepada pilot pesawat yang ditumpangi Munir, Pollycarpus Priyanto. Diduga ia mendapatkan perintah dari pimpinan Badan Intelijen Negara untuk membunuh Munir. Pollycarpus dinyatakan bersalah dan dihukum 20 tahun penjara tetapi mendapatkan pembebasan bersyarat pada tahun 2014. Pada tahun 17 Oktober 2020, Polycarpus meninggal dunia akibat Covid-19.

18 tahun berlalu kasus ini terancam kedaluwarsa. Pada 7 September 2020, Kasum menyerahkan pendapat hukum (legal opinion) mereka atas kasus ini ke Komnas HAM.

Desakan untuk menyatakan kasus kematian Munir sebagai pelanggaran HAM berat juga terkait dengan mekanisme dan sistem hukum di Indonesia. Salah satunya, batas waktu perkara kedaluwarsa.

Menurut Pasal 78 Ayat (1) angka 4 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hak penuntutan perkara dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup akan kedaluwarsa setelah 18 tahun.

Pasal 78 KUHP mengatur soal batas waktu kedaluwarsa suatu perkara berdasarkan jenis kejahatan dan ancaman hukuman yang dikenakan atasnya. 

Akankah kasus pembunuhan Munir didiamkan dan dilupakan begitu saja?

Penulis: Iswanto 
Lebih baru Lebih lama