JIRAH (Ngaji Sejarah) Edisi ke-67 dengan Tema: "Fatahillah dan Kemerdekaan yang Paripurna"


Selasa, 23 Agustus 2022. Dalam pembukaannya oleh kang farihin beliau menyebut dalam JIRAH kali ini merupakan JIRAH yang paling istimewa dari jirah-jirah sebelumnya karna dihadiri langsung oleh Pangeran patih raja Muhammad qodiron dari Kesultanan kanoman. Lalu dalam sambutan yang di ucapkan langsung dari pangeran patih raja Muhammad qodiron beliau menyampaikan " Terimakasih dan sangat bersyukur sekali bahwa di tempat ini masi ada yang perduli untuk membahas dan menceritakan tentang permasalahan sejarah dan saya kagum masi ada yang meneruskan atau mengestafetkan sejarah". 

Cara pandang sejarah yang mengerucut pada amanat guru dharmasiksa kita akan mendapati bahwa beliau berpesan dalam kropak 632 dalam naskah siksa kandang karisian "hananguni hanamangke tan hananguni tan hanamangke ayama baheula aya teu ayeuna hante mabaheula hante teu ayeuna hana tunggak hana watang tan hana tunggak tan hana watang" Yang artinya tidak akan ada masa kini kalau tidak ada masa lalu, tidak akan ada kita kalau tidak ada orang tua kita, tidak akan ada orang tua kita kalau tidak ada kakek kita, tidak ada kakek kita kalau tidak ada buyut kita, dan seterusnya. Sehingga bicara sejarah bukan sekedar bicara masalalu tapi bicara asal dan usul. 

Tahun 1912 seorang lulusan leiden murid dari snouck hurgronje namanya husein jayadiningrat yang ibunya masi jalur keturunan dari Sultan Hasanuddin dan ayahnya masi keturunan badui banten dari kanekes. Husein jayadiningrat dalam disertasi doktornya menyebutkan bahwa tokoh fatahillah itu sama dengan sunan Gunung jati, Dan buya hamka juga salah satu tokoh yang mengamini pendapat tersebut bahwa fatahillah itu adalah sunan Gunung jati. Berbeda dengan selamat mulyana dia mengatakan bahwa fatahillah itu adalah orang cina berdasarkan naskah limacikar dari klenteng sam po Kong yang di peroleh dari residen fotman, dan setelah di teliti naskah yang limacikar di klenteng sam po Kong itu tidak ada dan daftar nama-nama residen yang namanya fotman itu juga tidak ada. Bahkan bukan cuma fatahillah yang dianggap dari Cina tapi sunan Bonang, sunan ampel atau walisongo itu berasal dari Cina. Naskah limacikar inilah yang berasal dari semarang yang dirujuk oleh slamat mulyana ini juga di jadikan dasar untuk menulis tentang buku tuankurao. 

Kang farihin mengatakan bahwa kita beruntung dalam cirebon ini ada naskah-naskah dan para pelaku sejarah yang bisa memberikan klarifikasi bahwa fatahillah itu berbeda dengan sunan Gunung jati, yang masa hidupnya berbeda silsilah nya juga berbeda dan riwat hidupnya juga berbeda meskipun saling berkaitan, yang mana fatahillah lahir pada tahun 1491 M sedangkan sunan Gunung jati lahir pada tahun 1448 M. Dan kang farihin menjelaskan mengapa mengambil tema fatahillah dalam JIRAH kali ini, karena untuk memperingati hari kemerdekaan yang dimana fatahillah ini merupakan seorang pahlawan yang membebaskan Sunda Kelapa dari cengkraman portugis. Yang dimana dalam bukunya mansur Suryanegara buku api sejarah jilid 1 halaman awal bahwa dikatakan kemenangan yang di lakukan oleh fatahillah itu adalah kemenangan yang paripurna atau kemerdekaan rakyat Sunda Kelapa yang paripurna yang di sebut farhan mubina yang di kutip dari surat al fath ayat 1,dimana penyebutan Sunda Kelapa di ganti menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan yang paripurna.

Penulis: Muhammad Farhan
Lebih baru Lebih lama