Menelusuri Perjalanan Ibnu Fadhlan dari Baghdad hingga Volga Rusia di Utara Kaspia

 

Potongan Naskah Risalah Ibnu Fadhlan

"An Ordinary Man...An Extraordinary Journey".

     Itulah ungkapan mengenai sosok Ibnu Fadhlan dan perjalanannya yang terdapat dalam film The 13th Warrior. Film yang tayang pada tahun 1999 dan dibintangi oleh Antonio Banderas ini mengisahkan tentang seorang penjelajah muslim yang mengembara ke negeri orang-orang kanibal dengan ditemani oleh teman-teman Vikingnya. Walaupun banyak sekali kecacatan sejarah yang ditemukan dalam film garapan John McTiernan ini, kisahnya masih layak ditonton sebagai hiburan.

     Tokoh utama dalam film tersebut memang benar-benar diambil dari kisah nyata, sayangnya sang aktor dan sutradara The 13th Warrior tidak bisa menggambarkan dengan tepat bagaimana sosok tokoh utama film tersebut dalam sejarah aslinya. Kita mungkin sering mendengar nama para penjelajah muslim seperti Ibnu Batutah yang memulai perjalanan panjangnya dari Maroko sampai ke Samudra Pasai pada abad ke-14 M, atau Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming yang bahkan sempat singgah di pesisir Cirebon pada abad ke-15 M. Namun, sebelum kedua tokoh tersebut menjelajahi dunia yang luas ini, peradaban Islam telah memiliki banyak traveler yang sudah menapaki tingginya pegunungan dan luasnya samudra di berbagai benua.

     Salah satu penjelajah pada masa Islam klasik yang terkenal karena perjalanan panjangnya adalah Ibnu Fadhlan atau yang bernama asli Ahmad bin Fadhlan bin al-Abbas bin Rasyid bin Hammad, seorang penjelajah, geografer, dan sekaligus mubaligh yang ahli dalam ilmu fiqih. Ia hidup di Baghdad pada saat Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Khalifah al-Muqtadir Billah. Kisah perjalanan Ibnu Fadhlan ke negeri antah-berantah dicatatkan dalam bukunya yang berjudul Risalah Ibn Fadhlan: Fi Wasf al-Rihlah ilaa Bilad al-Turki wa al-Khazar wa al-Ruus wa al-Shaqalibah. Di buku itu tertulis bahwa pada masa kekuasaan Khalifah al-Muqtadir Billah, telah datang seorang utusan yang membawa surat dari Raja Almish bin Yiltawar, sang penguasa orang-orang Saqalibah (Slavia). Raja Almish bin Yiltawar meminta pada khalifah di Baghdad agar mengirimkan seorang mubaligh yang dapat mengajarkan dirinya dan juga penduduk negerinya syari'at Islam. Raja juga meminta bantuan agar khalifah membuat masjid-masjid dan benteng pertahanan di kerajaan miliknya. 

     Khalifah Abbasiyah yang saat itu memang telah menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara termasuk negara Saqalibah, mengutus Ibnu Fadhlan sebagai kepala delegasi sekaligus mubaligh bersama dengan Sausan al-Rasy, Tekin al-Turky, dan Baris al-Saqlaby untuk pergi menemui Raja Almish bin Yiltawar di ibu kota negerinya yang sekarang dikenal sebagai kota Kazan di Rusia. Delegasi khalifah tersebut berangkat dari Baghdad pada tanggal 11 Shafar tahun 307 H. Dalam bukunya, Ibnu Fadhlan mencatat hal-hal yang terjadi selama perjalanan panjangnya tersebut, bahkan dia mencatat suasana dan keadaan kota-kota yang dilewatinya. Dari Baghdad, Ibnu Fadhlan dan rombongannya yang menyamar sebagai kafilah dagang pergi menuju arah timur laut melewati Qarmisin, Hamdan, Sawa, Ray, hingga Naisabury. Rombongan tersebut kemudian melintasi gurun Amulu menuju kota Bukhara, di sana mereka menetap selama 28 hari di rumah perdana menteri Khurasan. Ibnu Fadhlan mencatat bahwa di Bukhara terdapat berbagai jenis dirham, mulai dari dirham Ghitrifiyyah yang sangat terkenal hingga dirham dari campuran tembaga dan kuningan. 

     Setelah dari Bukhara, Ibnu Fadhlan dan rombongannya menyusuri sungai Amu Darya dengan perahu sampai ke Khawarizm. Di sana mereka sempat tidak diizinkan untuk melanjutkan perjalanan oleh Amir Khawarizmi, Muhammad bin Iraq Khawarizm Syah karena menurut sang amir, negeri bangsa Saqalibah adalah tanah terasing yang dipenuhi oleh orang-orang kafir biadab dan jika khalifah mengutus seseorang untuk memberi bantuan pada mereka, maka Amir Muhammad adalah orang yang paling pantas untuk pergi ke sana karena dia adalah penguasa negeri yang dekat dengan Saqalibah. Setelah terjadi perdebatan antara Ibnu Fadhlan dan Amir Muhammad, akhirnya rombongan diperbolehkan kembali melanjutkan perjalanan mereka karna Ibnu Fadhlan membawa surat dari khalifah yang harus disampaikan langsung pada Raja Almish bin Yiltawar. Ibnu Fadhlan kemudian menuju Jurjaniyah dan menetap di sana selama musim dingin. Pada bulan Dzulqa'idah tahun 309 H, rombongan kembali melanjutkan perjalanan dengan menyeberangi sungai Jaihun hingga memasuki negeri orang-orang Turki. Dalam catatannya, Ibnu Fadhlan mengatakan bahwa orang-orang Turki hidup secara nomaden dan tinggal di tenda-tenda yang bisa dilipat. Sebagian dari mereka telah masuk Islam dan sebagian yang lain menyembah dua belas dewa. Yaitu dewa pohon, dewa manusia, dewa hujan, dewa kematian, dan lain-lain.

  Setelah melintasi negeri Turki dan menyeberangi sungai Girimsan, Uran, Urem, Mayna, Utka, dan Aqtay, rombongan Ibnu Fadhlan memasuki negeri Saqalibah di tepian sungai Volga. Negeri tersebut dihuni oleh bangsa Bulghar yang baru masuk Islam secara kasar. Rombongan tiba di sana pada 12 Muharram 310 H atau 12 Mei 922 M. Ibnu Fadhlan mencatat bahwa orang-orang Saqalibah tinggal di tenda-tenda yang besar seperti orang-orang Turki. Raja mereka berbadan besar dan gemuk. Mereka sangat menyukai daging dan madu dalam acara perjamuan. Selama menetap di sana, Ibnu Fadhlan menyampaikan surat dari khalifah, memberikan hadiah yang terdiri dari kain sutera, perhiasan, dan wewangian, serta mengajarkan syari'at Islam pada Raja Almish bin Yiltawar dan para penduduk negeri tersebut. Rombongan delegasi juga mendirikan masjid di negeri Saqalibah, bahkan Raja Almish bin Yiltawar sampai mengganti namanya menjadi Ja'far, mengikuti nama asli dari Khalifah al-Muqtadir Billah di Baghdad. Di negeri tersebut, Ibnu Fadhlan mencatat hal-hal yang asing baginya. Ia heran ketika menyaksikan bahwa waktu malam di sana sangat singkat dan siang hari yang sangat panjang. Penduduk negeri Saqalibah juga sangat suka mendengar lolongan anjing, mereka menganggap bahwa itu adalah tanda keberuntungan dan kemakmuran. Meraka juga selalu menggunakan minyak ikan untuk memasak karena mereka tidak mengenal minyak zaitun ataupun minyak yang lain, oleh karenanya menurut Ibnu Fadhlan makanan yang mereka makan selalu berbau tidak sedap.

     Ibnu Fadhlan juga mencatat bahwa laki-laki dan perempuan Saqalibah biasa mandi bersama di sungai, mereka tidak menutupi diri. Namun, tidak ada dari mereka yang melakukan perzinaan karena hukum bagi orang yang berzina di negeri tersebut sangatlah kejam, seperti tubuhnya dibelah menjadi dua atau digantung di pohon besar sampai mati. Ibnu Fadhlan mencatat bahwa Tekin al-Turky yang pergi bersamanya dari Baghdad menceritakan jika di negeri Saqalibah pernah terdapat seseorang yang sangat tinggi dan besar melebihi orang-orang normal. Orang-orang Saqalibah dan penduduk Wisu (Moskow), mengenal bahwa orang itu berasal dari bangsa Gog dan Magog (Ya'juj dan Ma'juj), sebuah bangsa yang tinggal di suatu tempat yang jaraknya tiga bulan perjalanan dari negeri Saqalibah. Ibnu Fadhlan kemudian bertanya tentang manusia tersebut kepada raja dan raja membenarkan apa yang dikatakan oleh Tekin al-Turky. Bahkan raja memperlihatkan tulang-belulang manusia raksasa tersebut. Dalam catatannya, Ibnu Fadhlan mengatakan bahwa Ia melihat tengkoraknya sebesar sarang lebah dan tulang rusuk manusia tersebut sebesar pangkal pelepah kurma, Ibnu Fadhlan sempat terheran-heran ketika melihat hal tersebut. Ibnu Fadhlan juga mencatat bahwa bangsa Saqalibah bermusuhan dengan tetangga mereka, bangsa Khazar yang beragama Yahudi dan hidup di daerah Kaukasus. Anak dari raja Saqalibah dijadikan sandera oleh khan Khazar, oleh karena itulah sang raja meminta bantuan kepada khalifah untuk membangun benteng pertahanan guna menghadapi bangsa Khazar.

     Selain mencatat mengenai orang-orang Turki dan Saqalibah selama perjalanannya, Ibnu Fadhlan juga mencatat tentang orang Rusia yang biasanya berdagang dengan menyusuri sugai Atil. Ibnu Fadhlan mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang mempunyai bentuk tubuh sempurna. Badannya tinggi dan tegap, kulitnya berwarna kuning dan kemerah-merahan dan mereka tidak menggunakan jubah walau di musim dingin sekalipun. Mereka selalu membawa belati dan kapak kemanapun mereka pergi. Ibnu Fadhlan juga mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang paling kotor dan jorok yang Ia pernah temui selama perjalanannya. Bangsa Rusia yang ditemui Ibnu Fadhlan dikatakan hampir tidak pernah mandi, tidak ber-istinja' dan tidak mencuci tangan sebelum atau sesudah makan. Mereka tinggal di rumah-rumah kayu yang biasanya setiap rumah berisi sebelas sampai dua puluh orang. Mereka juga gemar mabuk-mabukan. Saat salah satu dari mereka meninggal, maka jenazahnya akan dibakar dan jika orang yang meninggal tersebut memiliki budak perempuan, maka budak itu akan ikut dibakar bersama tuannya. 

   Catatan yang ditinggalkan Ibnu Fadhlan menunjukkan rasa keingintahuan yang besar akan hal-hal baru yang ada di belahan bumi utara tersebut. Ibnu Fadhlan melakukan pengamatan secara langsung dan mencatat detail-detail kecil selama perjalanannya. Dia berkomentar tentang kondisi alam, etika, dan adat istiadat setiap bangsa yang ditemuinya. Catatan perjalanannya pada abad ke-10 M digunakan oleh para antropolog dan sejarawan untuk meneliti kehidupan awal bangsa Slavia, Turki, dan Rusia di sepanjang sungai Volga hingga pengungungan Kaukasia dan tepian Kaspia. Walaupun terdapat beberapa bagian dari catatnnya yang masuk ke dalam ranah folklore, kisah perjalanan Ibnu Fadhlan dari Baghdad sampai ke Volga menjadi salah satu catatan yang paling rinci pada masanya. Ibnu Fadhlan mencatat bagaimana suatu karavan bepergian, flora dan fauna di sepanjang jalan dan juga peredaran mata uang di negeri-negeri yang dilewatinya. Tidak ada catatan serupa yang sangat rinci seperti Risalah Ibnu Fadhlan pada saat itu.


Source :

Ibnu Fadhlan. (2021). Terj Nasih Burhani. Risalah Ibn Fadhlan: Fi Wasf al-Rihlah ilaa Bilad al-Turki wa al-Khazar wa al-Ruus wa al-Shaqalibah. Forum.

Robinson. (2022). Terj Fahmi Yamani. Para Pembentuk Peradaban Islam Seribu Tahun Pertama. Pustaka Alvabet.


Penulis : Muhammad Alif Fathur Rahman

Editor : Hidayati Azhari

Lebih baru Lebih lama