The Promised Land : Tanah Penuh Konflik Sejak Era Klasik

 

Source : Jewish Virtual Library


    Pada tanggal 7 Oktober 2023, dunia kembali dihebohkan dengan kembali terjadinya konflik skala besar antara milisi Hamas dengan Israel di Jalur Gaza. Milisi Hamas yang menamai operasi penyerangan mereka dengan sebutan “Operasi Badai al-Aqsha” memiliki tujuan untuk mengalahkan pendudukan Israel di seluruh wilayah Palestina, seperti yang diungkapkan oleh juru bicara Brigade al-Qassam yang berafiliasi dengan Hamas, Abu Ubaida melalui saluran satelit al-Aqsha pada tanggal 7 Oktober 2023. Israel sendiri membalas serangan tersebut dengan membombardir Jalur Gaza. Dikutip melalui al-Jazeera, per tanggal 9 Oktober 2023, total korban jiwa yang jatuh mencapai lebih dari 1.100 orang. Jumlah ini merupakan yang tertinggi sejak Perang Yom Kippur pada 1973. Konflik berdarah antara Palestina-Israel selama puluhan tahun tersebut seakan tidak pernah berakhir.

     Lalu bagaimanakah sebenarnya awal mula terciptanya konflik yang berkepanjangan di tanah suci bagi 3 agama tersebut?

   Wilayah Syam atau Levant, termasuk di dalamnya wilayah yang sekarang disebut sebagai Palestina dan Israel memang telah menjadi arena peperangan dari berbagai bangsa sejak era kuno. Karena letaknya yang sangat strategis sekaligus tanahnya yang subur, wilayah tersebut seakan-akan menjadi mahkota bagi siapa saya yang menguasainya. Wilayah itu merupakan tempat bermulanya seluruh keturunan Ibrahim yang kelak akan membentuk tiga agama samawi, Islam, Kristen, dan Yahudi. Pada mulanya wilayah tersebut dikenal dengan sebutan Kharu untuk bagian selatan dan Retenu untuk bagian utara. Penamaan ini dilakukan oleh bangsa Mesir Kuno di Zaman Perunggu. Wilayah ini juga sempat dikenal sebagai Ardh Kan’an atau Tanah Kan’an karena yang pertama kali menempati wilayah ini adalah bangsa Kan’an, rumpun bangsa Semit yang bermigrasi dan telah tinggal di daerah tersebut sejak 2500 SM. Nama Palestina sendiri berasal dari kata Peleset, penamaan bangsa Mesir untuk bangsa Sea People atau Orang Laut dari Aegea (Mediterania) yang menyerang Mesir dan kemudian bermigrasi ke pesisir Levant pada akhir Zaman Perunggu. Mereka bercampur dengan bangsa Kan’an dan menamai negerinya dengan sebutan Filistin, pengejaan Kan’an untuk kata Peleset. 

     Bangsa Yahudi yang dipimpin oleh Yusya’ bin Nun atau Yosua masuk ke wilayah Levant dari Mesir pada 1220 SM melalui Sinai, mereka berkonflik dengan bangsa Kan’an di wilayah tersebut selama ratusan tahun. Bangsa Yahudi menganggap bahwa Tanah Kan’an adalah Tanah yang Dijanjikan oleh Tuhan kepada keturunan Ibrahim atau Eretz HaQodesh agar hidup mereka yang selama ini mengembara menjadi menetap dan memiliki tempat tinggal. Hingga pada 1020 SM, dibawah kekuasaan Saul (Thalut) yang dilanjutkan oleh Ashbaal, Daud dan Sulaiman, bangsa Yahudi berhasil mendominasi beberapa wilayah Levant dan mendirikan Kerajaan Israel di Levant yang kemudian terpecah pada 930 SM menjadi dua negeri Yahudi. Yehuda di selatan dengan ibu kota Jerussalem dan Israel di utara dengan ibu kota Samaria. Pada tahun 740 SM, Raja Tiglat Pileser III dari Kekaisaran Neo-Asyur menyerang wilayah utara Levant yang membuat dua negeri Yahudi tersebut tunduk dan membayar upeti. Di tahun 724 SM, Kekaisaran Neo-Asyur mengepung Samaria, ibu kota Kerajaan Israel dan berhasil menghancurkannya pada 721 SM sehingga negeri Yahudi yang tersisa hanyalah Kerajaan Yehuda di Jerussalem. Pada 587 SM, giliran orang-orang Kaldea dari Babel yang berkonflik dengan bangsa Yahudi di Levant. Setelah Kekaisaran Neo-Asyur runtuh, Raja Nebukadnezar II dari Babel menaklukan wilayah Levant dan berhasil menghancurkan Kerajaan Yehuda yang berpusat di Jerussalem. Orang-orang Yahudi diasingkan ke Babilonia dan yang tersisa melarikan diri ke Mesir sebelum akhirnya kembali ke Jerussalem setelah Kaisar Koresh II dari Kekaisaran Persia Akhemeniyah berhasil menduduki Babel pada tahun 539 SM. Koresh II memerintahkan agar orang-orang Yahudi yang diasingkan kembali ke Jerussalem dan membangun Bait Suci di sana. Kepemilikan tanah tersebut kemudian berganti-ganti tangan, mulai dari Alexander Agung Kaisar Makedonia yang menaklukan Gaza dari orang-orang Persia pada 332 SM, bangsa Nabatea Arab dari Petra yang menyerang pada 300 SM, hingga Kekaisaran Seleukia yang berkuasa di sana sejak tahun 200-63 SM. 

     Bangsa Romawi memasuki teater Levant pada 63 SM setelah Pompeius Yang Agung berhasil menaklukan tanah Israel dan mengubah namanya menjadi Roman Iudea. Pada awalnya orang-orang Romawi berusaha menggabungkan bangsa Yahudi ke dalam bangsanya. Namun, pada tahun 135 M, Simon Bar Kokchba yang merupakan pemimpin masyarakat Yahudi melakukan pemberontakan terhadap otoritas Romawi di Levant. Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh Julius Sevenus yang diutus oleh Kaisar Hadrianus di Roma. Setelah gagalnya pemberontakan Yahudi, Kaisar Hadrianus dari Romawi marah dan mengubah Jerussalem menjadi Aelia Capitolina serta meruntuhkan situs Bait Suci atau Haikal Solomon kemudian mengubahnya menjadi Kuil Jupiter dan Kuil Venus. Mulai saat itu bangsa Yahudi kembali terusir dan tersebar ke seluruh wilayah Levant, Kaukasus, hingga Asia Kecil. Bangsa Romawi juga menghapus istilah Yudea maupun Israel dan menggantinya menjadi Provincia Syiria-Palestina. Agama Kristen mulai tersebar dengan bebas di Palestina sejak masa kekuasaan Kaisar Konstantinus Agung (306-337 M) melalui Maklumat Milan pada tahun 313 M yang berisi bahwa rakyat Kekaisaran Romawi bebas memilih agamanya sendiri. Setelah terpecahnyan Kekaisaran Romawi menjadi Romawi Timur dan Barat pada tahun 395 M, wilayah Levant termasuk Palestina berada dalam kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium. Kekuasaan atas wilayah Palestina kembali berpindah tangan pada 611 M setelah Kaisar Khoesraw II dari Persia Sassaniyah bersekutu dengan bangsa Yahudi yang terusir dan menyerang Palestina. Jerussalem berhasil ditaklukan, bahkan Gereja Makam Kudus atau Holy Sepulchre yang dipercaya sebagai tempat dikuburkannya Yesus dalam tradisi Kristen dihancurkan dan dijarah. Bizantium melalui Kaisar Heracleus kembali merebut Palestina pada tahun 628 M. Namun, kekuasaan Bizantium di sana tidak berlangsung lama karena pada 636-638 M orang-orang Islam dibawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab mengepung Jerussalem dan berhasil menaklukannya. 

     Setelah menaklukannya dari Bizantium, Umar bin Khattab membagi wilayah Palestina menjadi dua wilayah administrasi. Wilayah pertama berpusat di Ramallah dengan Alqamah bin Hakim sebagai gubernurnya, wilayah kedua berpusat di Iliya dengan Alqamah bin Mujazziz sebagai gubernur daerah tersebut. Selama bertempur dengan Bizantium dalam rangka merebut Syam termasuk Palestina di dalamnya, pasukan Muslim mengorbankan sekitar 25.000 nyawa yang tentu saja menjadi harga mahal pada saat itu. Bangsa Arab saat itu menyebut wilayah Palestina dengan sebutan al-Wilayah al-‘Askariyyah al-Filasthiniyyah. Di masa Bani Umayyah, Palestina menjadi wilayah distrik militer yang bernama Jund al-Filistin yang termasuk dalam Provinsi Suriah Raya. Daerah ini mencakup kota Rafah, Gaza, Jaffa, Nablus, dan Jericho. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa menggantikan Dinasti Umayyah di Timur Tengah pada abad ke-8 M menjadikan wilayah Palestina sebagai daerah otonom dengan Ramallah yang tetap menjadi pusatnya. Kemudian Palestina dikuasai oleh beberapa dinasti lokal karena melemahnya pengaruh Dinasti Abbasiyah di luar Baghdad setelah abad ke-9 M. Beberapa dinasti lokal tersebut seperti Ikhsidiyah, Tuluniyah, hingga Dinasti Syi’ah Fatimiyah yang menguasai daerah tersebut pada 968 M.

   Setelah berada di dalam genggaman kekuasaan Muslim selama beberapa waktu, wilayah Levant termasuk Palestina kembali diguncang oleh kedatangan orang-orang berkulit putih dari Eropa. Memasuki akhir abad ke-11 M, Paus Urbanus II melalui Konsili Clermont mengumandangkan seruan perang suci untuk merebut Levant, terutama Jerussalem dari tangan “orang-orang barbar”. Dengan janji surga, Paus Urbanus II berhasil meyakinkan para bangsawan dan ksatria Eropa untuk berangkat menuju Palestina dan merebut Gereja Makam Kudus di Jerussalem. Sekitar 150.000 pasukan gabungan Eropa yang dipimpin Godfrey of Bouillon berhasil menaklukan Jerussalem pada tahun 1099 M. Para bangsawan dan ksatria Eropa, terutama dari Ordo Crusader mendirikan negara-negara salib di wilayah Levant. Berdirinya Kerajaan Jerussalem, County of Edessa, Kepangeranan Antiokhia, dan County of Tripoli di Syam atau Levant menandai babak baru konflik berdarah di Tanah Suci 3 Agama tersebut. Jerussalem kembali ke tangan kaum Muslim saat Salahuddin al-Ayyubi berhasil merebutnya dari pasukan salib pada tahun 1187 M. Di masa inilah bangsa Yahudi kembali mendapatkan kebebasan mereka di Jerussalem untuk yang kesekian kalinya. Salahuddin al-Ayyubi memperbolehkan umat dari tiga agama untuk beribadah dan berziarah ke kota tersebut. Pada akhir abad ke-13 M, negara-negara salib di Levant mulai kehilangan pengaruhnya karena rong-rongan kekuatan baru yang didirikan oleh para mantan budak Ayyubiyah dan berpusat di Mesir, Dinasti Mamluk. Benteng terakhir pasukan salib di Levant adalah kota Acre yang berhasil direbut pada 1291 M oleh Sultan al-Ashraf Khalil dari Mamluk. Palestina dan wilayah sekitarnya menjadi milik Dinasti Mamluk selama beberapa ratus tahun sebelum lagi dan lagi tanah itu dimasuki dan direbut oleh kekuatan baru yang sebelumnya tak pernah terlihat. Orang-orang Turki dibawah kekuasaan Yavuz Sultan Selim (cucu Muhammad al-Fatih) dari Kesultanan Utsmaniyah yang berpusat di Konstantinopel merebut Palestina dari Dinasti Mamluk pada tahun 1517 M. Wilayah tersebut kemudian dijadikan Provinsi Suriah atau Vilayet Suriah dan nama Palestina tak pernah terdengar lagi hingga runtuhnya Turki Utsmani di abad ke-20 M. Sejak saat itu Palestina kembali memasuki konflik berdarah di era modern.


Source :

Zafarul Islam Khan. (2021). Tarikh Filisthin al-Qadim. Pustaka Alvabet.

Hanafi Wibowo. (2022). Mengapa Palestina Gagal Merdeka. Neosphere Digdaya Mulia


Penulis : M. Alif Fathur Rahman

Editor : Diva Salsabila

Lebih baru Lebih lama