Kerupuk Melarat: Antara Tanam Paksa dan Depresi Ekonomi Global

   

Sumber : Foto.suaracirebon.com

   Pada bulan Oktober tahun 2023, salah satu makanan khas Cirebon yang berbahan dasar dari singkong, berwarna-warni, dan memiliki bentuk yang tidak teratur, yakni kerupuk melarat, dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikburistek). Selain memiliki cara pembuatan yang unik karena digoreng dengan menggunakan pasir, kerupuk melarat ternyata memiliki sejarah panjang sejak zaman kolonial. Masyarakat Cirebon awalnya telah mengenal hidangan kerupuk udang dan kerupuk kulit yang biasa disantap dengan nasi. Namun, pada masa kolonial Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch memberlakukan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel di Jawa, termasuk di wilayah Cirebon pada tahun 1830.

   Dengan campur tangan bumiputera yang berpihak kepada pemerintah kolonial, masyarakat dipaksa untuk menanam komoditas ekspor yang laku di pasar Eropa seperti gula, kopi, dan rempah-rempah sehingga lahan masyarakat tidak bisa digunakan untuk menanam bahan pangan pokok seperti padi. Untuk mengatasinya, masyarakat saat itu menanam umbi-umbian seperti singkong sebagai pengganti dari padi dan nasi. Berlimpahnya singkong pada masa itu membuat mulai terciptanya berbagai olahan makanan yang berbahan dasar singkong atau tepung tapioca, salah satunya adalah kerupuk melarat atau dikenal juga sebagai kerupuk maser. 

   Kerupuk melarat kembali eksis pada tahun 1930-an, saat itu dunia sedang dilanda krisis ekonomi yang dikenal sebagai The Great Depression. Krisis ekonomi ini disebabkan oleh penurunan harga saham di Wall Street, Amerika Serikat pada tahun 1929. Kejadian tersebut membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada pasar saham dan membuat daya beli menurun, investasi menyusut, hingga sektor industri menjadi goyah. Krisis mengerikan ini kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia, tidak terkecuali Hindia Belanda. Bidang perdagangan di Hindia Belanda saat itu mengalami kehancuran masif karena menurunnya komoditas pertanian yang merupakan andalan pemerintah kolonial dari tanah jajahannya. Nilai mata uang merosot dan harga-harga barang kebutuhan pokok melambung tinggi.

   Masyarakat kecil saat itu tidak bisa membeli sejumlah bahan pangan, termasuk minyak goreng yang mahal dan langka. Akhirnya masyarakat harus mencari cara alternatif lain untuk memasak makanan yang biasanya digoreng menggunakan minyak seperti kerupuk. Orang-orang Cirebon dan sekitarnya kemudian menggunakan pasir yang dipanaskan untuk menggoreng kerupuk melarat. Pasir yang digunakan saat itu haruslah berasal dari pegunungan yang sudah melewati proses pengayakan. Setelah diayak, pasir kemudian dijemur agar kering dan bersih. Setelah itu, barulah pasir layak digunakan sebagai pengganti minyak. Mulai saat itu nama melarat semakin melekat pada kerupuk berbahan dasar singkong tersebut. Kata melarat menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat kecil yang sulit sampai harus menggunakan pasir untuk menggoreng kerupuk.

   Saat ini kerupuk melarat sudah menjadi sebuah hidangan khas yang biasa disantap oleh berbagai kalangan masyarakat di Cirebon. Tidak hanya sebagai sebuah makanan tradisional, kerupuk melarat juga merupakan warisan budaya dan saksi bisu dari kejamnya penjajahan, mencekamnya krisis ekonomi global, dan bukti bahwa para pendahulu kita adalah orang-orang yang kreatif dan tahan banting.


Penulis: Muhammad Alif

Editor : Fahim Syahru Sofar


Referensi:

D. K. Bassett. Crisis and Response in the Dutch East Indies: Colonial Government and Economic Change in Java (1926-1938). Cornell University Press. 1978.

Antara. tempo.co. Sejarah Kerupuk Melarat Khas Cirebon, Tercipta Saat Masa Tanam Paksa Belanda. https://travel.tempo.co/. 2022.

Lebih baru Lebih lama