Benarkah Penaklukan Konstantinopel Menjadi Penyebab Penjajahan di Indonesia??


  Selama ini terdapat banyak narasi populer yang mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya penjajahan bangsa Barat adalah penaklukan yang dilakukan oleh Sultan Mehmed II atau Muhammad al-Fatih dari Kesultanan Turki Utsmani terhadap ibu kota Kekaisaran Bizantium, Konstantinopel pada tahun 1453. Lokasi Konstantinopel memang sangat strategis, terletak di tepi Selat Bosporus yang menjadi pemisah antara benua Asia dan Eropa serta penghubung antara Laut Mediterania dengan Laut Hitam. Sejak didirikan oleh Kaisar Konstantin I pada abad ke-4 M, Konstantinopel telah menjadi sasaran dari banyak kekuatan untuk ditaklukan. Sebut saja Kekhalifahan Umayyah, Kepangeranan Kiev, Tentara Salib dari Prancis, hingga sultan-sultan awal Dinasti Turki Utsmani telah mencoba menaklukan kota yang dianggap memiliki pertahanan terkuat selama abad pertengahan tersebut. Konstantinopel baru jatuh setelah dikepung hampir selama dua bulan penuh oleh Sultan Mehmed II, ratusan artileri beratnya, dan tentunya ribuan tentara Janissary-nya yang berpengalaman pada pertengahan abad ke-15 M. 

   Jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Utsmani dianggap membawa perubahan yang besar bagi Eropa, tidak, melainkan bagi seluruh peradaban dan sejarah dunia. Salah satu dampak besar akibat dari penaklukan Konstantinopel tersebut adalah munculnya era penjelajahan samudera yang nantinya akan membawa orang-orang Eropa melakukan kolonialisasi di Afrika, Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia. Konstantinopel dianggap sebagai jalur penghubung perdangangan orang-orang Eropa ke Asia. Setelah kota tersebut dikuasai Turki Utsmani yang dianggap bermusuhan dengan kerajaan-kerajaan Eropa, otomatis jalur perdagangan tersebut terputus sehingga bangsa Eropa harus mencari jalur lain menuju Asia yang kaya akan harta ajaib, rempah-rempah. Hal itulah yang kemudian dianggap menjadi awal dari penjelajahan samudera dan era kolonial. Namun, benarkah faktanya demikian?

   Konstantinopel memang merupakan kota yang cukup strategis dari segi geografisnya yang terletak di antara Asia dan Eropa. Namun, perlu diketahui bahwa Konstantinopel bukanlah satu-satunya kota yang menjadi penghubung perdagangan antara Asia dan Eropa. Sejak era klasik, arus barang-barang dari timur Asia masuk ke Eropa melalui jalur darat atau jalur sutera yang menghubungkan Cina, India, Persia, Kaukasus, Levant, Mediterania, hingga dataran Eropa. “Kedamaian” di jalur darat tersebut berubah ketika terjadi Perang Diadokhoi atau konflik antara para jenderal Alexander Agung pasca kematiannya pada tahun 323 SM. Perebutan kekuasaan antara para penerus Alexander Agung tersebut terjadi di sebagian jalur sutera, terutama di wilayah Mediterania yang mengakibatkan arus perdangangan sering kali terhambat. Hal tersebut diperburuk dengan mulai bangkitnya persaingan antara Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Persia sejak abad pertama masehi. Jalur sutera di darat menjadi kawasan yang berbahaya, terutama bagi karavan pedagang.

   Sejak saat itu, arus perdagangan mulai beralih ke jalur laut yang kemudian dikenal sebagai jalur rempah karena dinilai lebih aman, lebih ekonomis, dan tentunya dapat mambawa kargo yang lebih besar. Pelabuhan-pelabuhan penting kemudian mulai bermunculan disepanjang pesisir selatan Asia hingga Mediterania sejak awal abad pertama masehi. Kota utama yang menjadi penghubung jalur perdagangan antara Asia dan Eropa kala itu adalah Alexandria atau Iskandariah di Mesir. Kota pelabuhan ini telah ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai negara sejak berada di bawah kekuasaan salah satu penerus Alexander Agung, Dinasti Ptolemaik pada tahun 305 SM. Barang-barang dari Cina, India, Semenanjung Arab, Yunani, dan wilayah Mediterania lain berlabuh di Alexandria sebelum masuk ke Asia dan Eropa. Sebelum Konstantinopel menjadi pusat perhatian dari “para penakluk,” Alexandria telah menjadi wilayah penting yang menghubungkan kegiatan perekonomian antar-benua. Bahkan kota tersebut terus aktif menjadi pusat perdagangan setelah penaklukan Konstantinopel oleh Turki Utsmani.

   Selain itu, masa penjelajahan samudera yang dianggap sebagai awal dari era kolonial bangsa Eropa sebenarnya telah dimulai sebelum Turki Utsmani meruntuhkan Bizantium dan “menutup” Konstantinopel dari para pedagang Eropa. Perkembangan teknologi navigasi Eropa telah berkembang pesat pasca terusirnya bangsa Moor dari Semenanjung Iberia atau Andalusia. Orang-orang Portugis telah melakukan penjelajahan samudera di era Pangeran Henry Sang Navigator. Sejak tahun 1434, 19 tahun sebelum penaklukan Konstantinopel, para pelaut Pangeran Henry telah berhasil menjelajah pantai barat Afrika, bahkan hingga ke Atlantik. Pangeran Henry juga memiliki andil yang cukup besar dalam menaklukan wilayah-wilayah muslim di seberang lautan Eropa, Maroko sebagai reaksi bangsa Eropa terhadap ekspansi Dinasti Umayyah ratusan tahun sebelumnya yang mereka sebut sebagai Reconquista (penaklukan kembali). Langkah besar bangsa Portugis dalam melakukan penjelajahan samudera menjadi awal dari era kemajuan sistem navigasi Eropa. Sebelum Konstantinopel tertutup bagi bangsa Eropa, mereka telah menemukan jalur-jalur baru menuju tanah-tanah yang nantinya menjadi wilayah kolonisasi.

   Tertutupnya jalur perdagangan bangsa Eropa setelah penaklukan Konstantinopel juga tidak sepenuhnya benar karena pada faktanya, mereka masih dapat berdagang dengan lancar melalui kota-kota penghubung lain, seperti yang disebutkan sebelumnya, Alexandria. Orang-orang Venesia dan Genoa tercatat memiliki hubungan dagang yang sangat erat dengan Dinasti Mamluk di Mesir. Bahkan selama konflik antara Turki Utsmani dan Mamluk pada tahun 1500-an, Vesesia kerap kali memberikan banyak dukungan kepada Mamluk. Venesia juga memiliki akses perdagangan ke Asia melalui Siprus dan Suriah setelah Mamluk ditaklukan Turki Utsmani pada tahun 1517 dengan membayar upeti kepada sang sultan Turki. Walaupun Konstantinopel mungkin telah tertutup bagi jalur perdagangan mereka, orang-orang Eropa dan Turki Utsmani tetap memiliki hubungan dagang yang baik di sepanjang Mediterania.

   Kejatuhan Konstantinopel memang sangat mengguncang Eropa. Namun, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penjajahan seperti penjelajahan samudera dan tertutupnya jalur perdagangan menuju Asia bagi orang-orang Eropa tidak semuanya berhubungan dengan penaklukan tersebut. Lalu mengapa jatuhnya Konstantinopel sering kali dinarasikan sangat berpengaruh terhadap penjajahan bangsa Eropa di Asia, termasuk di Indonesia? Bagaimanapun, Konstantinopel merupakan salah satu kota terbesar di dunia saat itu, walaupun saat terjadinya penaklukan yang dilakukan Turki Utsmani, kota tersebut telah kehilangan sebagian besar penduduknya karena wabah dan konflik lain di sepanjang abad pertengahan. Penaklukan dramatis yang dilakukan oleh Turki Utsmani juga seolah menciptakan sebuah legenda hebat yang kerap berhubungan dengan identitas keagamaan. Saat itu, mungkin bahkan hingga saat ini, Turki Utsmani dinggap sebagai perwakilan kekuatan Islam yang besar, tidak heran jika Indonesia yang memiliki banyak populasi muslim sangat tidak asing dengan narasi-narasi terkait Turki Utsmani, terutama mengenai Penaklukan Konstantinopel.


Sumber: 

Dursteler. Venetians in Constantinople: Nation, Identity, and Coexistence in the Early Modern Mediterranean. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2006.

Rosamond E. Bazaar to Piazza: Islamic Trade and Italian Art, 1300–1600. Berkeley: University of California Press, 2002.

https://www.britannica.com/biography/Henry-the-Navigator


Penulis: Muhammad Alif Fathur Rahman

Editor : Fahim Syahru Sofar 

Lebih baru Lebih lama